Filsuf Ahmad Gaus, Penyair yang Kaya?
Ahmad Gaus, saya kenal karena sama-sama bekerja di Lembaga Sensor Film sejak dilantik 11 Februari 2016. Setelah beberapa bulan, kami memutuskan Ahmad Gaus menjadi koordinator. Hal ini didasari oleh kemampuan beliau dalam berdialog, menyampaikan inspirasi, mengayomi, mendengarkan, dan ramah. Tidak terlalu sulit untuk mendeteksi hal ini, karena dalam beberapa kesempatan dan rapat, Ahmad Gaus menunjukkan kemampuannya dalam berkomunikasi.
Selain bekerja di Lembaga Sensor Film, Ahmad Gaus sendiri adalah penulis, peneliti, dosen dan aktivis. Bahkan dunia tulis menulis telah digeluti sejak mahasiswa. Selain dalam bentuk buku, Ahmad Gaus juga menulis artikel dan kolom di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Majalah Gatra, Matra, Gamma, Panji, Jurnal Kultur, Jurnal Afkar dan lain-lain. Lebih dari dua puluh buku lahir dari tangannya, sebagian besar bukunya bertema kebudayaan, agama, politik dan sastra.
Belakangan, lebih banyak menulis biografi tokoh-tokoh nasional seperti: Nurcholish Madjid (Cendekiawan), Djohan Effendi (mantan Mensesneg), Taufiq Effendi (mantan Menpan), Utomo Dananjaya (Pakar Pendidikan), Farouk Muhammad (Jenderal Polisi), Koes Hadinoto (Kol. Ahli Radar), Jusuf Talib (Birokrat).
Ahmad Gaus merupakan alumnus Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta dan pernah nyantri di pesantren Daar el-Qolam, Banten. Gaus juga pernah menjadi pimpinan redaksi penerbit Paramadina (1999-2004), pembicara dalam berbagai forum seminar baik di dalam maupun luar negeri. Sejak 2007 sampai sekarang mengajar mata kuliah Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan di Swiss German University (SGU), BSD City Tanggerang.
Ah, iya…kita akan membahas filsuf Ahmad Gaus yang kaya kan ya? Istilah ini saya ambil dari kalimat Narudin kritikus sastra dalam kata pengantarnya pada buku kumpulan puisi Ahmad Gaus yang akan launching awal November 2017 nanti di Singapura. Kumpulan puisi berjudul “Senja di Jakarta”.
Pada kata pengantar yang diberi judul “Kaleidoskop Artistik Seorang Filsuf”, Narudin mengatakan Ahmad Gaus seorang penyair yang kaya. Kaya dalam hal selera estetik dan tematik. Kedua kekayaan yang dimiliki itu mengidentifikasi bahwa ia seorang penyair sekaligus pembelajar yang tekun.
Jika diperiksa dari bentuk, bahasa, hingga isi, puisi-puisi Ahmad Gaus telah mengalami proses permenungan yang relatif sublim—berwatak cenderung kontemplatif, baik puisi-puisi dalam gaya naratif atau prosa lirik maupun puisi-puisi dalam gaya lirik murni. Puisi modern Ahmad Gaus ini, terasa sulit dibedakan akibat cita rasanya, sehingga anasir-anasir normatif puisi menjadi berkelindan antara wilayah puitis dan prosais. Gejala demikian dikatakan Narudin, bahwa Ahmad Gaus seorang penjelajah puisi yang tekun.
Romantisme Epik
Menurut Narudin, setiap manusia memiliki definisi sendiri mengenai “cinta”, dan salah satu yang dirundung rasa cinta atau katakanlah, romantisme itu adalah si filsuf Ahmad Gaus. Persisnya romantisme “epik” sebab ia berasyik-masyuk mengelola rangkaian kata-kata romantis-nya itu. Narudin mencontohkan puisi Ahmad Gaus yang berjudul “Senja di Jakarta”, seruan “kekasihku” terasa seperti memohon akibat telah terjadi sesuatu yang tidak beres dan menanti sebuah anjuran supaya yang tidak beres itu setidaknya diperhatikan secara seksama. Namun, ternyata panggilan “kekasihku” itu hanya curahan si aku-lirik akibat telah keadaan di kota yang kian buruk. Segera diketahui bahwa si aku-lirik termasuk “manusia kota dengan segenap dukanya”.
Hampir sebagian besar puisi Ahmad Gaus ini pernah ditulisnya di akun sosial medianya, seperti facebook. Namun, membacanya kembali dalam bentuk buku, membuat saya secara pribadi seakan berkenalan lebih dekat lagi dengan alam pikir si filsuf. Berikut saya tuliskan kembali puisi Ahmad Gaus berjudul sama dengan koper bukunya “Senja di Jakarta”, yang menduduki posisi halaman akhir dari keseluruhan puisi dalam buku tersebut.
Senja di Jakarta
Tubuhku berulang kali menjadi dinding, kekasihku
menahan rasa sakit dan gemuruh angin yang dikirim
dari gedung-gedung yang selalu berisik
di jantung kota
Kisah-kisah konspirasi menjerat mimpiku
di kursi-kursi tua yang telah menunggumu
untuk menghapus peluh dari tanganku
yang tidak berhenti berderak
Di sudut kota matahari sore menerobos
jendela apartemen yang tidak pernah dibuka
burung gereja menyanyikan mars perjuangan
awan hitam berbaris seperti pasukan demonstran
yang marah, ingin merubuhkan pagar istana
intrik, makar, konspirasi, apalagi
Semua huru-hara ini, kekasihku,
masih akan berlangsung
memekakan telingaku yang sudah rata
dengan jalanan
pandanganku yang selalu nanar
kehilangan taman bunga
Duduklah, aku ingin menikmati lagi
bibir senja, rambutmu yang berkilau langit sutra
matamu yang bening bagai air telaga
aku ingin mereguk lagi segelas teh
dan ciuman hangat
Sebelum senja berlalu
memetik bunga mawar di kelopak matamu
(26/07/17)
Contoh lain untuk mengungkapkan romantisme epiknya dapat dilihat dari puisi berjudul Seribu Tahun Lagi, Cinta dan Pernikahan, atau Teman Abadi Kerinduan. Menurut Narudin, puisi berjudul Teman Abadi Kerinduan kiranya dapat menyimpulkan apa itu makna cinta sesungguhnya, yakni cinta sepasang manusia, suami kepada istrinya di taman abadi kerinduan dengan teman abadi kerinduan.
Bait inilah tampaknya makna yang dimaksudkan oleh si Penyair “romantisme epik” ini. Bukankah secara te-leo-logis segala jalan cinta yang tengah ditempuh niscaya akan sampai tujuan? Demikianlah seharusnya tatkala bait ini dibisikkan teramat pelan:
Kita tahu di sana ada
Keluh-kesah harapan
Teman abadi kerinduan
Nostalgia Terenumerasi
Ialah Josip Novakovich (2003) salah satu yang pernah membagi arus kesadaran (stream of consciousness) ke dalam tiga dimensi ini: kenangan, mimpi, dan khayalan. Teringat kepada kampung halaman (homesick) termasuk ke dalam dimensi kenangan itu. Menurut Narudin semua penyair serius mengalami perasaan puitis demikian, dan turut mengubahnya dalam sebuah puisi, baik puisi itu dipublikasikan maupun disimpan saja di dalam laci meja kerjanya atau sekadar ditaruh di bawah bantal tatkala ia menjemput alam mimpinya.
Dua puisi “Waktu Kita Kecil” dan “Senandung Ramadan”, meletupkan gairah arus kesadaran yang bersifat nostalgik itu. Sungguh kenangan masa kecil itu laksana pandangan mata bidadari cantik jelita yang amat memesona debar jantung kaum adam yang masih normal.
Imaji Dekoratif atau Pikturesk
Ada istilah imaji dekoratif (decorative image), yang diistilahkan oleh Narudin sebagai “pikturesk”—yakni citra yang melukiskan suasana alam laksana sebuah potret yang tampak langsung di kelopak mawar mata pembaca puisi.
Simak dua bait terakhir dari puisi “Pagi Berbisik” dan “Hati” ini:
…
Lalu keduanya saling merasa
menunggu waktu yang baik
untuk bercinta.
…
Bayangkan kalau sampai hatiku hilang
besok aku menemuimu membawa apa?
…
Pascal pernah berujar, “Satu-satunya logika yang tak dapat dijangkau oleh logika akal ialah logika hati”. Ternyata hati pun punya logika! Demikian pula apa yang pernah diucapkan oleh Herbert Read dengan teka-teki ini: “emotional apprehension of thought”. Pikiran yang emosional! Dan satu lagi pernah diutarakan oleh Elisabeth Drew, “He feels his thoughts and he thinks his sensations”. Ahmad Gaus merasa dengan akalnya, dan berpikir dengan rasanya! Paradoks begitu sebagai suatu tanda dalam kajian Semiotika bahwa puisi modern memang bersifat bertentangan (paradoksal).
Saya menebak, dua puisi ini lahir bukan di depan PC kantor atau ruang dapur tempat ahli hisab (perokok) berkumpul hehe, pastinya bukan. Karena lahirnya puisi ini di hari libur kerja.
Dedikasi
Puisi dedikasi dituliskan Ahmad Gaus kepada Chairil Anwar (CA), Sapardi Djoko Damono (SDD), dan Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sifat aktif –sublim – dan perseptif menurut Narudin terpancar di dalam puisi-puisi dedikasi “Sajak Sisa-sisa” yang ditujukan kepada CA, “Kursi Ruang Tunggu” kepada SDD, dan “Sepisau Sepi” yang ditujukan kepada SCB.
Bagaimana lirik puisinya, memang sengaja tidak saya tuliskan, silakan kalian membeli dan membaca buku tersebut. Lima puluh lima puisi akan membawa kalian mengenal sang Filsuf lebih dekat begitu juga dengan pemikiran-pemikiran serta rasa yang ia utarakan.
Enigma Postmodern
Istilah postmodern sering terdengar di kantor kami. Ahmad Gaus pasti paham siapa orang yang sering menggunakan istilah ini di kantor. Dua ciri kehidupan postmodern menurut ahli sosiologi kontemporer, Andy Barnard (2004), dalam bukunya Contemporary Sosiology: Sociology For As and A Level, ialah bersifat “khaotik dan neurotik” (kacau dan gila). Keadaan ini akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak diimbangi dengan etika atau secara religius, keimanan, dan ketakwaan. Akibatnya, manusia cenderung lebih mencari kebenaran oplosan daripada mencari kebenaran hakiki yang telah tersedia. Menukar kebenaran mutlak dengan kebenaran nisbih. Seperti kata Barnard lebih lanjut:
“The only absolute thing in postmodernism is that everything is relative”
(Satu-satunya yang absolut dalam postmodernisme ialah bahwa semuanya relatif/tidak absolut)
Nah, pada puisi-puisi Ahmad Gaus, kondisi-kondisi yang mencirikan postmodern dapat kita jumpai. Narudin mencontohkan puisi berjudul “Homo Homini Lupus”, dan “Porak Poranda” menggambarkan premis-premis postmodern. Berikut baris-baris puisi Ahmad Gaus ini sebagai perlawanan tekstual-logikal:
…
Malam melambaikan tangan dengan cakar-
cakarnya yang tajam. Engkau tak sabar menunggu
pagi untuk memastikan bahwa yang tergeletak di
jalan itu bukan tubuhmu.
…
Homo-religiosus
Bagian ini merupakan bagian penting dan terakhir dibahas oleh Narudin untuk puisi-puisi Ahmad Gaus. Karena muara manusia adalah Homo-religiosus (makhluk beragama). Hal ini juga nampaknya langkah untuk tidak membiarkan kekejaman postmodern.
Ada beberapa puisi yang bermuara pada konsep Tuhan, misalnya Meninggalkan Tubuh, Dalam Fana, Sehelai Kain dari Surga, Para Penjahat Atas Nama Tuhan, Cerita Natal Seorang Gadis Kecil dan terakhir Doa Penawar Rindu.
Doa Penawar Rindu
Tuhan, jika kerinduanku pada kekasih
melebihi kerinduanku kepada-Mu
ampuni aku!
Sebab, aku bukan penguasa atau apapun
yang terbesit di hatiku
melainkan Engkau.
Dan jika kecintaanku pada kekasih
melebihi kecintaanku kepada-Mu
maafkan aku!
Sebab, aku juga bukan penguasa atas setiap rasa
yang berdenyut di jantungku
melainkan Engkau.
Dalam zikir-zikir kulantunkan
untuk memuji nama-Mu
tanpa sadar kusebut pula namanya.
Jangan murkai aku, Tuhan, jika itu keliru!
Sebab, tak mungkin dapat kugerakkan lidahku
melainkan atas izin-Mu juga.
Dan dalam sujud-sujud malamku
untuk mengagungkan-Mu
kuagungkan pula namanya di hatiku.
Jangan kutuk aku, Tuhan
walaupun mungkin menurut-Mu itu perlu!
Dari Engkaulah rindu dan cinta berhulu
kepada Engkau pula kelak akan bermuara
aku hanya pendayung waktu
rindu dan cinta kupinta selautan rahmat-Mu
untuk kekasih yang menunggu di ujung senjaku.
Maka jadikanlah cinta ini sebagai amal saleh
yang akan kujalani selama hidupku
dan rindu ini sebagai ibadah
yang akan kuamalkan sepanjang hayatku.
Dawpilar, 17 September 2017
Tepat kiranya mengatakan Filsuf Ahmad Gaus kaya. Selain itu, nilai toleransi dan keberagaman juga diusung pada puisi-puisi Ahmad Gaus. Di saat yang lain sibuk mempertanyakan, ia secara otomatis kaya (jelas) dalam identitas suatu Bangsa, tepatnya Indonesia. Penasaran pada buku kumpulan puisi Ahmad Gaus, kalian bisa membelinya melalui kontak 085750431305 atau facebook gausaf@yahoo.com. Salam sastra!
Sumber Rujukan: Buku Kumpulan Puisi Ahmad Gaus “Senja di Jakarta”