Oleh: Ira Diana
Pendahuluan
Kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan lebih meningkat karena perkembangan teknologi dan informasi. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2019 jumlah kasus meningkat sebesar 14%. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan 2019 sebesar 406.178, yang meningkat dari jumlah sebelumnya yaitu 348.466. Data ini diperoleh dari kasus atau pekara yang ditangani Pengadilan Negeri (PN)/ Pengadilan Agama (PA), layanan mitra Komnas Perempuan, Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan dan, Subkomisi Pemantauan yang mengelola pengaduan melalui surat dan surat elektronik (Catahu Komnas Perempuan Tahun 2019, 2019).
Data di atas hanya berdasarkan laporan, dan saya meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan lebih banyak lagi, mungkin jauh lebih banyak dari yang terlapor. Banyak perempuan yang menahan dan menunda melaporkan kekerasan terhadap dirinya, karena berbagai alasan. Mirisnya, bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi pada ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kemudian berkembang melibatkan anak perempuan sebagai korban. Kasus inses (hubungan seksual atau perkawinan antara keluarga) dan marital rape (perkosaan dalam perkawinan) menjadi isu penting di tahun ini. Belum lagi isu femicida, kekerasan cyber, kriminalisasi perempuan lewat UU ITE seperti kasus Baiq Nuril yang telah disetujui amnestinya oleh anggota Komisi III DPR RI pada sidang paripurna 25 Juli 2019.
Beragamnya bentuk kekerasan pada perempuan serta beragam pula wadah, media dan platform yang menjadikan perempuan merasa tidak aman di lingkungannya sendiri membuat kita harus aware terhadap langkah preventif berupa pencegahan. Program pencegahan ini tentunya harus dituangkan dengan jelas pada visi dan misi Komnas Perempuan 2019. Pada poin misi Komnas Perempuan saat ini memang telah menyebutkan Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak pada prinsip ha katas integritas diri, namun jika saya terpilih menjadi anggota Komnas Perempuan, memiliki misi sendiri yang lebih aplikatif baik dari sisi kebahasaan maupun tindakan konkritnya. Saya sepakat bahwa pencegahan merupakan poin pertama dari rangkaian program yang harus dilakukan oleh Komnas Perempuan. Pencegahan merupakan faktor prioritas tanpa mengesampingkan faktor-faktor lainnya.
Berkaitan dengan itu, kenyataan bahwa teknologi sudah tidak dapat dibendung lagi membuat kita harus mengantisipasi. Teknologi bisa berdampak baik jika dimanfaatkan dengan benar, namun bisa sebaliknya karena kurangnya pengetahuan, faktor lingkungan dan lain sebagainya. Banyak kajian yang mengaitkan bahwa aktivitas teknologi entah itu menonton, akses di media sosial dan berbagai kegiatan lainnya merupakan faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dengan kemudahan ini, akses untuk melakukan tindak kejahatan pun menjadi lebih mudah dan berefek pada populasi perempuan yang terlibat atau dilibatkan baik secara domestik, nasional, maupun internasional.
Masyarakat sebagai penikmat apa yang disajikan oleh media dan teknologi, benar-benar menjadi penikmat asal penikmat tanpa peduli asas kehati-hatian. Hoax dan tawaran yang tidak mendidik menjadi makanan nikmat sebagai bentuk masturbasi pikiran orang-orang pinggiran yang sudah lama terpinggirkan dan sekarang terancam disingkirkan. Hal inilah kemudian menciptakan dan meningkatkan aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Media harusnya menjadi fabricated truth dan post truth, namun karena tidak semua masyarakat khususnya kaum perempuan memiliki pengetahuan ke arah sana maka terjadilah ketimpangan.
Untuk itu perlu program pencegahan yang optimal sehingga terukur dan berkesinambungan. Perempuan harusnya berdaya dan mampu mencegah peluang kekerasan terhadap dirinya bahkan pada perempuan lain di lingkungannya.
Optimalisasi Program Komnas Perempuan
Pada prinsipnya percegahan dan perlindungan kepada korban kekerasan perempuan dapat dilakukan dengan optimalisasi program Komnas Perempuan. Sebagai lembaga negara independen yang mengurusi bidang perlindungan perempuan akan hak-haknya, Komnas Perempuan harus terus berupaya dari waktu ke waktu untuk membenahi program yang ada. Hal ini bukan karena program yang ada tidak efektif namun berdasarkan data pada pendahuluan, program tersebut perlu dioptimalkan.
Meningkatnya jumlah kekerasan terhadap perempuan yang bahkan tanpa data sekunder mengenai berapa banyak yang tidak melaporkan kasusnya ke lembaga, maka dapat dipastikan Komnas Perempuan harus ekstra kerja keras di periode yang akan datang. Menurut saya, optimalisasi program ini menjadi salah satu solusinya. Pencegahan merupakan tahap awal yang harus dilakukan dan diprioritaskan. Hal ini dikarenakan tahap antisipasi kekerasan pada level pencegahan, berpotensi menurunnya jumlah kekerasan yang ada.
Gerakan Nasional Literasi Media
Kemajuan teknologi yang kian pesat merupakan faktor utama askes kemudahan terjadinya kekerasan pada perempuan saat ini. Maka, untuk mengantisipasi hal tersebut, gerakan literasi media perlu digiatkan. Gerakan itu harus berupa gerakan nasional dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat bahkan mulai pada jenjang pendidikan dasar. Mengapa hal ini perlu? Kemajuan teknologi tentu tidak serta merta dibarengi dengan kemajuan pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Maka, masyarakat perlu diberi pemahaman yang benar dan bijak bagaimana menggunakan media yang ada. Sasaran pada program ini tidak hanya perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Untuk kaum perempuan dari anak-anak hingga dewasa, perlu ditingkatkan pengetahuannya mengenai penggunaan media. Bagaimana media dapat membuat mereka menjadi sasaran empuk kejahatan.
Misalkan saja, media sosial seperti Facebook dan Instagram hampir dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat bahkan tidak mengenal usia dan status sosial. Perempuan-perempuan harus dibekali bagaimana berperilaku bijak dalam mengelola akun media sosial mereka sehingga terhindar dari kejahatan. Kaum laki-laki pun harus diberi sosialisasi bagaimana peran mereka yang seharusnya melindungi kaum perempuan. Laki-laki harus berperan serta dalam mengentaskan tingkat kekerasan terhadap perempuan. Ke depan, harusnya ada sebuah gerakan berupa tindakan nyata yang menggiring opini, sikap dan perilaku yang cerdas dan bijak dalam bermedia sosial
Bila seluruh elemen masyarakat turut serta, saya meyakini bahwa gerakan literasi nasional merupakan salah satu jawaban untuk mengurangi tindak kejahatan pada perempuan. Memang ini merupakan sebuah program jangka panjang yang efek dan gerakannya akan terasa di beberapa tahun ke depan, namun gerakan ini harus dimulai saat ini dan sekarang juga.
ToT untuk Perempuan
Training of Trainer (ToT) yang dimaksud di sini berkaitan erat dengan literasi media. Gerakan literasi media seyogiyanya melahirkan agent of change di masyarakat. Perempuan harus menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak-haknya dan mencerdaskan perempuan lainnya. Program ToT ini perlu dilakukan secara berkesinambungan, terlebih beberapa provinsi yang masih sedikit jumlah lembaga tempat mengadukan masalah kekerasan terhadap perempuan, maka hal ini dapat menjadi sebuah solusi.
Definisi secara luas dari ToT adalah pelatihan yang diperuntukan bagi orang yang diharapkan setelah selesai pelatihan mampu menjadi pelatih dan mampu mengajarkan materi pelatihan tersebut kepada orang lain. Semacam agent of change yang dapat membantu rekannya yang lain.
Hal-hal yang dipersiapkan dalam pelaksanaan ToT ini antara lain:
- Mendata target perempuan yang potensial dijadikan sebagai trainer. Mereka inilah nantinya yang akan menjadi agent of change di tengah-tengah masyarakat. Mereka juga menjadi representasi dari Komnas Perempuan.
- Membuat materi dan modul baik daring maupun luring untuk memudahkan akses. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan aplikatif, sehingga mudah pula diterapkan di masyarakat. Misalnya, bagaimana mengidentifikasi masalah kekerasan, tindakan preventif yang harus dilakukan, pendampingan, layanan hukum dan lainnya. Sebagai trainer di tengah masyarakat harus mampu memberi pelayanan prima dan komprehensif.
- Membuat alur atau bagan dengan menjawab pertanyaan; ToT awal ini akan dilakukan di mana dan dengan siapa saja? Kemudian, dari trainer yang ada akan meneruskan informasi dan pengetahuan yang telah didapatnya kepada siapa?
ToT pada tahap awal tentunya menyasar kepada pengurus lembaga swadaya masyarakat, Women Crisis Center (WCC) dan, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang ada di setiap provinsi di Indonesia. Komnas Perempuan pusat tentu menjadi trainernya. Setelah itu, para trainer yang dihasilkan pada ToT tersebut meneruskan informasinya ke tingkat lembaga di tingkat kabupaten/kota dan berlaku seterusnya.
Untuk daerah yang memang tidak dapat dijangkau, dan tidak ada lembaga swadaya masyarakat, Women Crisis Center (WCC) dan, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), maka perlu dirancang teknis pelaksanaan trainingnya. Misalnya dengan ToT daring menggunakan fasilitas internet yang ada. Dewasa ini, sangat mudah untuk menelaah potensi akun dan individu di media sosial yang care dan aware terhadap kekerasan perempuan. Mereka ini dapat digandeng untuk kerja sama dan membantu program tersebut. Saya sendiri mengasuh pada akun @pojokpuan di Instagram dan membuka kelas konsultasi baik di akun tersebut maupun di akun pribadi.
- ToT yang sudah berjalan dibuatkan group dan komunitasnya sehingga terbentuk suatu kesatuan yang utuh dari setiap daerah di Indonesia. Semua penyelesaian masalah dan isu yang berkembang di masyarakat dapat segera terinformasikan dan dapat penanganan segera.
- Evaluasi program.
Hal ini penting sejauh mana program atau misi ini dapat mengurangi angka kekerasan yang terjadi pada perempuan. Dengan evaluasi pula, kita akan mengetahui efektivitas suatu program dan merencanakan tindak lanjut yang tepat nantinya.
- Tindak lanjut.
Tindak lanjut dari hasil evaluasi program adalah hal penting yang harus dilakukan. Tindak lanjut ini dapat berupa variasi program atau bahkan penghentian program itu sendiri. Kalau melihat dan berdasarkan analisis pribadi saya, tentu ToT ini efektif, namun mungkin tidak semua daerah dapat dikatakan berhasil utamanya daerah pedalaman dengan akses teknologi kurang dan tingkat ekonomi maupun pendidikan masih rendah. Ini adalah salah satu tantangan ke depan, bagaimana mensetting program ini dengan lebih efektif.
Pemberdayaan Perempuan Sebagai Bentuk Aktualisasi Diri
Berdasarkan penelitian dan data yang ada menunjukkan bahwa ekonomi, sosial budaya membuat perempuan menjadi ladang empuk objek kekerasan. Untuk itu secara singkat saya sampaikan pada makalah ini, bahwa perempuan harus diberdayakan sesuai dengan porsi dan wilayahnya. Komnas Perempuan mesti mewujudkan hal tersebut. Bila perempuan-perempuan dapat berdaya sebagai bentuk aktualisasi dirinya maka sangat membantu proses keberadaan mereka di tengah masyarakat dan merupakan bentuk penghargaan tertinggi.
Seperti diketahui, status sosial dan pendidikan rendah, membuat perempuan berada dalam tekanan, bahkan dalam rumah tangganya sendiri. Suami yang seharusnya memberikan perlindungan kepadanya, namun pada kenyataannya berbeda. Untuk itu, perempuan perlu disibukkan dengan aktivitas agar terhindar, lupa dan menjadi lebih percaya diri. Hal-hal seperti ini yang perlu didorong Komnas Perempuan ke depan. Karena, sesungguhnya kerja besar dapat diatasi dengan kerja kecil yang maksimal. Hal yang terlihat receh ini perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya di tengah masyarakat Indonesia. Selain manfaat kesejateraan, perempuan mendapat pengalaman dengan pergaulan dan informasi dari kegiatan yang mereka lakukan.
Sebagai contoh, kemudahan akses teknologi seperti media sosial yang saya sebutkan pada penjelasan sebelumnya dapat dimanfaatkan kaum perempuan untuk aktualisasi diri seperti menyalurkan hobi, berjualan dan kegiatan positif lainnya. Jangan sampai, media sosial yang ada digunakan untuk memajang foto, pornografi, mengakses konten berita hoax dan ikut terlibat jaringan porstitusi online dan aktivitas negatif lainnya. Perempuan harus digiring agar dapat memaksimalkan potensi di dirinya serta dapat meningkatkan kualitas dan peluang yang ada di sekitarnya.
Self Healing
Saya memang tidak begitu detail membicarakan jenis dan bentuk kekerasan karena data dari Komnas Perempuan sendiri sudah nyata adanya. Yang ingin saya sampaikan dalam makalah ini adalah langkah ke depan dan solusi dalam bentuk visi dan misi pribadi yang harapannya dapat menjadi bagian dari visi dan misi Komnas Perempuan nantinya sebagai sebuah visi misi lembaga.
Bila tadi di bagian awal pada isi makalah ini berbicara langkah preventif ke depan, maka di bagian akhir ini saya mengungkapkan langkah yang harus dilakukan bila sudah terjadi kekerasan. Bila jangkauan kerja dan kemampuan negara terbatas, kejahatan tentu bisa saja terus terjadi. Maka, bila hal itu menimpa perempuan, mereka harus mampu bangkit dan mengobati dirinya sendiri dari tauma dan luka, baik fisik maupun psikis.
Mengapa ini penting? Karena tidak semua korban kekerasan mendapatkan akses pelayanan pengaduan, tidak semua daerah ada, bahkan karena faktor X bisa saja menjadikan perempuan enggan melaporkan kekerasan terhadap dirinya sendiri. Faktor X ini bisa karena malu, takut, sosial budaya yang ada di lingkungannya atau hal lain. Maka, perempuan harus mampu mengobati dan bangkit dari kekerasan yang dialaminya.
Bagaimana ini dapat diatasi, tentu Komnas Perempuan harus memberikan penyuluhan dan sosialisasi (bisa dalam bentuk ToT tadi, jejaring dalam komunitas atau ketika anggota Komnas Perempuan turun ke daerah) mengenai self healing. Self Healing atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyembuhan diri sendiri sangat diperlukan.
Self healing adalah fase yang diterapkan pada proses penyembuhan atau pemulihan yang berkaitan dengan trauma dan gangguan psikologis. Proses ini mendorong insting seseorang untuk memotivasi dirinya. Proses ini dapat membantu dan dipercepat dengan teknik instropeksi seperti meditasi dan terapi gestalt. Penyembuhan diri merujuk kepada proses homeostatis tubuh yang dikendalikan oleh mekanisme fisiologis yang melekat dalam organisme/makhluk hidup/individu (Bahrien & Ardianty, 2017).
Secara sederhananya, self healing adalah proses penyembuhan dari diri sendiri. Hal ini dipercaya sebagai langkah awal yang efektif agar korban tidak depresi dan melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Hal ini efektif pula hingga korban menunggu proses penanganan dan pengaduan mereka diproses. Perempuan harus mampu mengatasi masalahnya sendiri. Perempuan harus kuat dan tangguh terhadap semua masalah yang menghampirinya.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan pada proses penyembuhan ini antara lain:
- Me time atau kita kenal sebagai waktu untuk diri sendiri. Pada fase ini, perempuan dituntut untuk berpikir apa yang telah terjadi pada dirinya dan hal apa yang harus dilakukan kemudian. Ada proses instropeksi diri dan penenangan di sini sebelum melakukan hal yang jauh lebih besar.
- Fase selanjutnya adalah berupaya menerima masalah yang telah datang, tidak mengeluh dan memotivasi diri sendiri, bahwa semua akan teratasi dengan baik. Jangan pernah mengorbankan diri sendiri ataupun orang lain, seperti anak dan keluarga.
- Kekerasan yang telah terjadi dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk bangkit. Dari dalam diri perempuan dapat digali semangat untuk bangkit. Dapat ditunjukkan melalui contoh-contoh yang ada di masyarakat bagaimana perempuan bangkit dari kekejaman yang menimpanya. Menempatkan masa lalu pada tempatnya dan berpikir ke depan demi masa depan sendiri dan juga orang lain misalnya ada anak, tentu memikirkan masa depan anaknya.
- Menentukan langkah-langkah mengurangi dampak yang terjadi. Misal dengan menulis bebas, sehingga beban berkurang, berkumpul dengan keluarga hingga mendapatkan dukungan penuh dan tidak merasa sendirian, menyelesaikan masalah dengan melaporkan kejadian yang menimpa dan terus mengupgrade diri menjadi perempuan tangguh dan bebas dari masalah serupa nantinya.
Program ini sebenarnya bisa berdiri sendiri atau diikutkan pada materi ToT yang harus dikuasai trainer. Namun bila penanganan bidang psikologi ini cukup berat bagi individu yang tidak secara spesifik memiliki kemampuan dalam mengolah rasa dan pendekatan holistik pada korban, maka dialihkan pada ahlinya.
Penutup
Mewujudkan visi, misi dan program Komnas Perempuan seolah membuka banyak kata-kata yang sangat berat untuk dilakukan. Dukungan pemerintah yang berkaitan dengan regulasi pun hingga kini masih menunggu proses. Tentu, mengingat banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan baik dengan ataupun tanpa bantuan pihak lain, maka melibatkan peran serta masyarakat sangat diperlukan. Komnas Perempuan tidak dapat bekerja sendiri, sudah saatnya merangkul masyarakat di semua lapisan. Teknologi yang merupakan salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan, kita alihkan menjadi sebuah potensi untuk sebuah gerakan besar dan komunitas yang besar pula. Kalau kita bersama-sama saya yakini apa yang menjadi poin dan program baik skala kecil maupun besar berpotensi berhasil di masa yang akan datang.
Terakhir, ketika menutup tulisan makalah ini, saya mendapat notifikasi dari DetikNews, mengenai kakak adik yang inses di Luwu punya tiga anak. Sungguh, potret kekerasan terhadap perempuan melibatkan banyak faktor dan pihak. Mari bersama-sama mengurangi bahkan memberantasnya. Ini adalah tugas mulia untuk saya dan semoga ke depan saya diberi kesempatan lebih besar untuk berbuat melalui Komnas Perempuan.
Referensi
Bahrien, B., & Ardianty, S. (2017). Pengaruh Efektivitas Terapi Self Healing Menggunakan Energi Reiki terhadap Kecemasan Menghadapi Ujian Skripsi. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi. https://doi.org/10.15575/psy.v4i1.1227
Catahu Komnas Perempuan Tahun 2019. (2019). Korban Bersuara, Data Berbicara, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Wujud Komitmen Negara. diaskes melalui https://www.komnasperempuan.go.id