Menjadi orang tua bahkan yang memahami psikologi perkembangan anak tidak menjamin dapat mengatasi pola didik dan komunikasi dengan anak. Utama lagi pada anak yang beranjak dewasa, dalam hal ini usia remaja. Di mana, anak sedang mencari identitas diri.
Berbicara mengenai manusia dengan segala karakter dan sikap yang ada di dirinya, menjadi problematika sendiri, karena tidak semua orang dapat melakukan treatment yang sama pada beberapa individu. Sehingga, metode empiris tiap orang berlaku dan menjadi sebuah pegangan dan pengalaman unik tersendiri.
Teori-teori psikologi yang banyak berkembang, tentulah menjadi dasar umum yang digunakan banyak orang sebagai pedoman. Namun, kembali lagi, bahkan seseorang dengan kemampuan psikologi saja belum tentu dapat menerapkan metode yang pas pada putra putrinya.
Kembali pada persoalan remaja, berdasarkan pengalaman saya sejauh ini. Sulit, terlebih dengan anak yang broken home. Jangan kan anak dengan status broken home, anak dari keluarga utuh pun banyak yang membuat masalah. Baik hubungan anak dengan orang tuanya maupun anak dengan lingkungannya.
Jadi, bagaimana membuat anak dapat tumbuh sesuai harapan banyak orang? Baik, berkarakter sehat, unggul dalam pendidikan baik akademik maupun sosialnya? Bagaimana?
Sejauh, pengamatan awal saya, tentulah dari keluarga yang benar-benar fokus dengan tujuan yang sama. Ayah dan ibu. Mereka punya peran sangat besar. Dan, bukan dalam artian keluarga lengkap. Tapi sebuah keluarga yang dibentuk dengan visi dan misi yang benar. Mustahil dalam sebuah rumah tangga tidak ada konflik baik suami dengan istri atau orang tua dengan anak. Namun, dengan visi dan misi yang di awal telah ditetapkan sebagai goal atau tujuan mampu mengubah arah yang telah terbelok tadi.
Banyak orang tua yang saat ini menggali ilmu di bidang psikologi anak untuk mencapai pendampingan yang maksimal. Mulai dari teori-teori awal hingga teknologi dan informasi serta kebutuhan membuat teori-teori itu berkembang. Mulai dari pendapat-pendapat Piaget yang memetakan perkembangan individu berdasarkan usianya yang sampai saat ini masih kita gunakan, termasuk saya. Maka, terlepas dari itu, individu atau manusia ini adalah sesuatu yang unik untuk dipelajari, karena tidak semua dapat disamaratakan.
Bikin pusing kan?
Ya, banyak orang tua termasuk saya pusing karenanya. Mengingat anak yang remaja, apa bisa kita paksakan mengikuti kemauan kita walau itu adalah terbaik versi orang tua.
Terkadang memberi kebebasan anak juga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif tindakan, walau orang tua harus belajar ikhlas.
Anak, memang perlu diajarkan bagaimana konsekuensi memilih. Anak perlu pula tahu rasa sakit dan penderitaan. Dan, anak perlu juga belajar bahwa ada cinta keluarganya yang tidak utuh. Mau tidak mau, semua harus menjadi kesadaran penuh untuk anak belajar.
Memang sulit, saya saja mengalami hal tersebut. Komunikasi saya jadi buruk, anak kemudian memilih tidak mengikuti kata saya. Barangkali ini salah satu bentuk protesnya pada saya. Awalnya saya begitu ingin menariknya dalam lingkup saya. Dalam lingkaran yang saya bentuk. Tapi, ke sini-sini, saya belajar ikhlas. Karena melihat dari dalam lingkaran tentulah tak maksimal, perlu perspektif luar. Maka, saya ikhlaskan anak saya berdiri di luar lingkaran saya untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda. Melihat dari luar. Walau tak dipungkiri, akan ada banyak masukan di luar sana, tapi bagi saya tak jadi soal. Itu akan memperkaya pandangan dia, terlepas baik atau buruk perspektif itu. Karena ada kuasa waktu dan sebab akibat dari proses di dunia ini yang akan dipahami kemudian.
Sekian part satu sebagai pengantar dari penulis yang fokus dan peduli pada psikologi perkembangan anak.
Puji
Ditunggu part duanya, Bu..