Berbicara mengenai perempuan seolah tidak ada habisnya. Berbagai media dan tiap sendi kehidupan selalu bersinggungan dengan hal itu. Namun, masih dijumpai persoalan kebebasan dan diskriminasi gender bagi kaum perempuan di era yang katanya telah memahami kesetaraan.
Perempuan seyogiyanya memiliki kebebasan dalam segala hal sebagai individu atau manusia di muka bumi. Hak asasi manusia (HAM) tidak dapat lagi mengacu pada hak dan kebebasan yang berhubungan dengan kondisi fisik seseorang saja. Definisi HAM yaitu setiap manusia terlahir dalam keadaan bebas, berhak hidup, dan bermartabat (Equality and Human Rights Commission, 2018) perlu diinterpretasikan sebagai kebebasan manusia untuk menjalankan kehidupannya tanpa tekanan atau pembatasan, sejauh hal tersebut tidak membatasi HAM individu lain.
Kebebasan perempuan dalam ruang publik maupun privat, masih dibatasi oleh stigma bahwa perempuan memiliki kodrat tersendiri. Perempuan tidak memiliki kesempatan mengaktualisasikan dirinya di ruang-ruang publik dan berkreativitas. Sebagaimana dituliskan sebelumnya bahwa kebebasan bukan hanya mengenai fisik namun mengenai pikiran-pikiran, ide dan gagasan.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan bahwa tahun 2019 terjadi peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan, ini mengindikasikan dua hal. Pertama, mengenai meningkatnya pengetahuan perempuan akan adanya lembaga yang menaungi mereka. Mereka mulai berani bersuara atas hal yang mereka alami. Kedua, bahwa kekerasan terhadap perempuan memang meningkat bahkan menjalar hingga dunia digital. Tak hanya persoalan kekerasan dalam rumah tangga melainkan persoalan krusial lainnya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Pemahaman tentang kebebasan dan kesetaraan ini bagi sebagian orang yang berpendidikan telah dipahami dengan benar. Hal ini dapat kita lihat dari kesempatan perempuan dalam demokrasi di tanah air, bekerja, menyampaikan ide dan gagasan di ruang publik dan sebagainya. Namun, tak dapat disangkal ada sebagian (saya tidak dapat mengatakan sebagian secara utuh karena perlu data untuk hal ini, mungkin sebagian kecil atau dapat juga sebagian besar) yang menempatkan perempuan pada level di bawah laki-laki, kodratnya mengurus rumah, melayani suami, tidak perlu bersosialisasi apalagi berorganisasi.
Pada bagian ini, mungkin karena ditanamkan sejak dini oleh keluarganya sehingga generasi di bawahnya turun temurun beranggapan yang sama akan peran perempuan. Sosial budaya yang mengakar bahwa ada sistem patriarki yang harus dipatuhi.
“Ngapain sekolah tinggi-tinggi toh ujung-ujungnya ngurusin suami…”
“Kamu bisa apa? Ini pekerjaan laki-laki…”
Patriarki selalu menjadi konsep yang dilontarkan ketika kita membicarakan hak perempuan. Kata patriarki sendiri memiliki arti rule of the father. Kata ini sering digunakan untuk mengacu pada dominasi laki-laki atas perempuan, baik di ranah publik maupun privat (Sultana, 2011).
Menurut Therborn (2004) dan Walby (1990), patriarki adalah sistem struktur dan praktik sosial di mana laki-laki mendominasi dan mengeksploitasi perempuan (dalam Johannsdottir, 2009). Patriarki dan subjugation terhadap perempuan bersifat politis dan memiliki akar sejak manusia mengonsepsikan kekuasaan.
Dalam berdemokrasi, perempuan pun seolah hanya sebagai pelengkap komposisi jumlah atau kuota keterwakilan. Terkadang, dalam persoalan yang lebih sulit pun, peran perempuan tidak dilibatkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya pikiran dan gagasannya kadang dikesampingkan.
Perempuan dianggap sebagai entitas yang kurang sempurna—subpar—dibandingkan dengan laki-laki. Jika laki-laki merupakan manusia seutuhnya, maka entitas yang kurang sempurna dianggap sebagai bukan manusia atau manusia yang tidak sempurna; dengan demikian, mereka tidak dapat dikatakan setara. Kebebasan dan hak individu diatributkan pada ‘manusia yang sempurna’- yang diidentikkan dengan sifat maskulin, sementara femininitas diatributkan pada inferioritas sehingga tidak memiliki kebebasan (Pateman, 1988: 3).
Maka, rumitnya persoalan perempuan di muka bumi ini harus dipahami. Memang perempuan adalah makhluk lemah dengan keterbatasannya sehingga perlu sosok laki-laki. Namun kemampuan perempuan di bidang lain perlu mendapatkan penghargaan sehingga kebebasan dan kesetaraan dapat dipahami oleh semua pihak. Maka, rekomendasi kepada negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, yaitu pengesahan RUU kekerasan seksual, penyediaan perlindungan, pemulihan dan akses layanan korban, penghentian kriminalisasi perempuan dan penghapusan hukuman mati serta konsistensi menjalankan rekomendasi mekanisme HAM internasional dan nasional. Diperlukan juga untuk menambahkan sosialisasi dan gerakan tentang kesetaraan dan kebebasan perempuan di ruang publik dan privat secara masif.
yabanci
Thanks for sharing, this is a fantastic post. Really looking forward to read more. Really Great. Alina Basilius Lust