“A man who has committed a mistake and doesn’t correct it is committing another mistake”—Confucius
Masih banyak di antara kita yang alergi dengan kata “sensor”, bahkan pada masanya sensor film dianggap sebuah pengekangan kreativitas. Mengapa masih salah kaprah? Apa sih sebenarnya sensor itu? Perlukah kita antipati?
Entah bagaimana awalnya, kata sensor sangat identik dengan konotasi negatif—sebuah pengekangan, bagian yang dihilangkan, dicek, dibuang dan sebagainya. Padahal, bila kita cermat dan mencermati, sensor secara terminologi pun tidak berkonotasi ke arah itu. Sensor menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring V, menyatakan sensor adalah pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya); yang menyensor; pemeriksaan berita, surat, buku, film, dan sebagainya agar tidak bertentangan dengan norma, peraturan, dan hukum yang berlaku.
Demikian pula bila ditelisik pada UU perfilman sendiri (UU no 33 tahun 2009), sensor film menurut pasal 1 no 9 adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. Pun sama definisinya pada peraturan pemerintah No 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film sendiri.
Maka, bagian mana yang disalahartikan oleh banyak pihak?. Mungkin, pada masa lampau, LSF memang dikenal dengan guntingnya yang tajam, sehingga dinilai sebagai sebuah pengekangan dan membunuh kreativitas. LSF pada masa pembentukannya pun lahir dari kekhawatiran banyak pihak sehingga perlu pembatasan oleh pemerintah yang sesuai kebutuhan pada masa itu. Padahal, LSF era sekarang sudah berbenah jauh dari frame itu. Berkembangnya teknologi dan informasi serta arus budaya yang ada saat ini LSF tidak menafikan itu dan berusaha berjalan seiring.
Tuntutan zaman dan perkembangan film saat ini tidak bisa dibendung lagi. Bila dulu, film hanya dikonsumsi kalangan tertentu, saat ini film bisa dijangkau oleh siapa saja, dan dengan media yang beragam pula. Untuk itulah, sensor diperlukan dan masih sangat relevan.
Alih-alih kalau sensor merupakan sebuat tool dalam menghukum dan menilai sebuah karya, tapi sensor meletakkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan wawasan agar semua hal yang ada kaitannya dapat jalan beriring dan sesuai. Misalnya, dengan adanya sensor, pemilik dan pembuat film mendapatkan sebuah pandangan dari sisi aturan, apa yang semestinya disajikan pada sebuah karya yang mereka hasilkan tanpa harus mengurangi nilai estetika dan kreativitas. Selain itu, sensor secara lebih jauh, mengajarkan semua lapisan masyarakat dapat melakukan self- cencorship. Sensor sesungguhnya ada pada diri siapa pun, yang utamanya bertujuan agar dapat memilah dan memilih hal yang sesuai begitu pun dengan film.
Kejadian-kejadian pada masa lampau dan image yang sudah terbentuk di masyarakat selama ini perlu kita gerus dengan keniscayaan penuh bahwa sensor bertujuan baik. LSF sebagai perpanjangtanganan pemerintah, merupakan lembaga yang diberi wewenang dan tugas untuk itu. Aturan yang ada sesungguhnya digunakan untuk menertibkan segala sesuatu di masyarakat kita sehingga tidak saling bertabrakan satu dengan yang lainnya. Seperti contoh, bila ada sebuah film yang katakanlah penuh kreativitas dengan menampilkan sisi agama yang kental dari sebuah agama yang ada di Indonesia kemudian cerita berkembang ke sana ke mari dengan bumbu-bumbu intrik-intrik tertentu, mungkin bagi sebagian orang akan sensitif dengan suguhan ini. Sehingga bisa jadi nantinya akan menimbulkan perdebatan di masyarakat.
Sebagai negara yang beragam suku, bahasa, adat budaya dan agama, tentu ada banyak hal perlu menjadi pertimbangan bagi pembuat film sebelum film-film dibuat, kemudian disensorkan dan diedarkan. Agar ada sebuah kesinambungan, semua pihak harus mengerti tujuan sensor dan apa itu sensor, serta aturan yang berkaitan dengan itu, sehingga imajinasi dan kreativitas dapat berkembang dengan tuntunan yang tepat. Apa karena hal itu, maka kreativitas terbatasi? penulis pikir tidak. Justru dengan adanya panduan yang jelas, maka arah dan bentuk kreativitas makin dapat diciptakan seluas mungkin dengan memerhatikan aspek yang tidak bertentangan. Hanya saja, kreativitas out of the box yang sesuai dengan ketentuan tapi tetap bernilai seni tinggi itu mungkin perlu digiatkan.
Sensor sejatinya ada pada setiap individu. Sensor bukanlah suatu hal yang tabu dan bersifat membatasi. Sensor ada karena kebutuhan akan hal itu, dan Indonesia masih membutuhkannya. Dengan jumlah penduduk yang relatif besar, suku bangsa yang beragam, budaya dan adat istiadat yang juga berbeda, serta mungkin pendidikan yang belum merata menjadi sebuah kewajiban moral untuk melindungi anak bangsa dari dampak negatif film.
Bila kita berbicara dampak film tentu banyak penelitian yang mengarah ke sana. Sebut saja salah satunya hasil penelitian Dr Joanne Cantor dan Dr Kristen Harrison yang membuktikan bahwa anak-anak yang menonton film horor lebih cenderung mengalami rasa takut yang dapat bertahan lama dalam diri mereka. Tokoh dalam film mudah muncul dalam pikiran dan fantasi mereka yang dianggap sebagai sebuah kenyataan. Selain dari sisi usia, film juga dilihat sebagai sebuah karya yang dapat disusupi ideologi, anjuran dan hal lain yang bertentangan dengan norma dan nilai yang berlaku di Indonesia.
Dari banyaknya temuan di masyarakat inilah, LSF hadir untuk menilai kelayakan sebuah film sehingga tepat secara konten dan juga peruntukan usianya. Nah, persoalannya lagi adalah bagaimana meningkatkan rasa sensor pada diri individu sehingga dapat tertib, memilah dan memilih tontonan yang sesuai dengan usia dan peruntukkannya.
Sebuah quote dari Confucius di awal tulisan ini, memaknai bahwa sebuah kesalahan bila terus dibiarkan membawa pada kesalahan lainnya. Maka, penulis mengajak kembali agar kita semua untuk mengingat definisi dan terminologi kata sensor sendiri sebagai pembuka, bahwa sensor sejatinya melekat pada diri kita sendiri, bertujuan baik dan tidak berkonotasi buruk, tapi lebih pada menempatkan segala sesuatunya sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku.
So, jangan anti sensor ya…
marjak
Assalamualaikum Ibu Ira,
Apakah kami bisa mengundang Ibu untuk berbagi pengetahuan bagi siswa siswi kami?
jika memungkinkan kami dapat dihubungi di 085740458150
Terimakasih Bu..
Ira Diana
Waalaikumsalam, maaf sekali saya cukup lama tidak membuka website ini karena kesibukan dan aktivitas lain. Maaf sekali lagi ya. Untuk fast respon bisa DM di instagram saya saja. Thanks