MANUSIA HUTANG
Ira Diana
Manusia Hutang? Ah gila nih orang. Berkali-kali handphone berdering dengan nomor yang sama, ya… aku tahu itu pastilah mereka, dan terakhir mereka sms dengan menyebutku manusia hutang! Mana ada manusia normal di dunia ini ingin menjadi manusia hutang? Akupun tak ingin mengangkat handphoneku karena takut untuk berjanji. Menjanjikan hal yang belum pasti aku dapatkan dan tepati. Setiap hari seperti ini, sampai-sampai aku takut melihat handphoneku sendiri. Takut berdering dengan nomor yang sama, atau berdering dengan nomor lain yang pemiliknya sama. Gila ! sampai kapan aku menjadi ketakutan seperti ini, sampai-sampai tingkahku menjadi aneh, seperti seseorang yang terkena penyakit membingungkan. Karena aku juga bingung, keadaan ini dapat dikategorikan penyakit apa?
Otakku bekerja lebih berat dari biasanya, tulangku mulai menunjukkan ketidaksepakatannya, nyilu di mana-mana. Seharusnya aku akan menjadi kurus karena banyak pikiran, tetapi tidak, malah beratku bertambah, aku bisa memakan apa saja dan tiap saat merasa lapar, terutama saat handphoneku berdering. Rasanya ingin menjadikannya salah satu menu makanan, sehingga tidak menggangguku lagi. Ada keinginan untuk menukar nomor handphone, tapi aku bukanlah orang yang tak mau bertanggung jawab. Aku tidak akan lari!
Lihatlah sekelilingku sekarang! Mereka hanya bisa mengupat hutang-hutangku, begitu juga dengan teman dekatku, mulai memperlihatkan sorotan mata yang tajam, seakan ingin menancapkan ke jantungku. Senyuman mereka serasa sebuah lemparan kotoran ke wajahku. Seperti aku ini benar-benar seseorang yang memalukan bahkan menjijikkan.
Kriiingggg… lagi-lagi handphone ini berbunyi saat aku berada di rumah ibuku. Ibuku memperhatikan saat aku mengabaikan bunyi-bunyi itu. Tampak wajah curiga di wajahnya.
“ Kenapa tidak diangkat?” tanya ibu
“ Tidak jelas nomornya, mungkin orang iseng” sanggahan yang terlintas di benakku.
“ Tapi terlihat seperti penting, karena berulang kali ibu dengar berbunyi” lanjut ibu lagi.
“ Itu orang iseng bu, kalau diangkat tidak ada suaranya, jadi lebih baik diabaikan” jawabku.
Ya… ibuku tak perlu tahu akan kesusahan anaknya. Ibuku tidak harus dibebani urusan lain yang bukan tanggung jawabnya lagi. Dia telah membesarkanku dan menyekolahkanku dengan baik dan semampunya. Urusan telpon ini, dia tidak perlu tahu! Segera aku silentkan suara handphone agar tidak terdengar lagi, kusimpan dalam tas dan kugantung di balik pintu. Hmmm… cukup untuk hari ini! Beberapa hari aku berada di rumah ibu hanya untuk sedikit mencari ketenangan. Ketenangan yang tak pasti.
Aku tahu itu telah menjadi bagian dari tugas mereka untuk menghubungiku sampai berhasil. Dulu pernahku angkat, dan akhirnya aku berbohong, dari tanggal sekian ke tanggal sekian, dari hari senin, berubah menjadi selasa, rabu, kamis dan seterusnya. Aku juga tidak ingin nantinya Tuhan bilang aku Manusia Pembohong! Oh sungguh tidak ingin! Tapi untuk sekarang aku belum bisa berbuat banyak.
Aku ingat beberapa tahun yang lalu ketika sales kartu kredit menawarkan kepadaku kartu kredit dari bank mereka. Awalnya aku tidak mau, karena aku sudah terbiasa dengan kartu debit. Tapi rayuan demi rayuan, fasilitas demi fasilitas, keuntungan demi keuntungan dingiangkan di telingaku. Akupun luluh, jatuh, dan tergoyahkan. Awalnya lagi semua berjalan lancar, semua begitu indah, kartu ini memberiku kemudahan, bahkan banyak kemudahan. Laksana kartu ajaib, begitu banyak memberi keajaiban. Diusia mudaku, aku adalah wanita sukses dengan segala fasilitas yang aku miliki, dan untuk kartu itu? Tentunya sebagai wanita sukses aku harus memilikinya dan pantas memilikinya.
Tak ada yang salah, kartu berjalan sesuai fungsinya dan aku membayar kewajiban tiap bulannya. Semua berjalan baik, baik itu ketika aku harus berurusan dengan rekan kerja atau membeli sesuatu yang memang dibutuhkan, aku menggunakan kartu ajaibku. Semua dijalankan dengan ketelitian dan asas manfaat serta perhitungan yang benar. Aku selalu menggunakan sesuai dengan keperluan dan kesanggupan bayar yang aku perkirakan.
“ Wah asik nih eksekutif muda, wanita sukses, bayar barang aja pake kartu kredit” ujar temanku yang punya toko, ketika aku membeli barang elektronik untuk kebutuhan kantorku.
“ Biasa aja kali Nit, kamu juga sukses, selesai kuliah udah buka toko elektronik terkenal seperti ini” pujiku.
“ Kamu tuh Vi, yang paling sukses di antara kita semua. Vivi gitu loh…”
“ Masa?”
“ Beneran, apa yang tidak kamu punya saat ini? Kamu punya segalanya diusia yang sangat muda”
“ Mudah-mudahan kita semua sukses ya” itu saja yang dapat aku katakan pada temanku. Pujiannya membuat aku sedikit malu, dan aku tidak suka dipuji. Hal ini semua aku dapatkan dari kerja keras, kehidupan keluargaku yang biasa-biasa saja membuat aku harus bekerja ekstra keras, bahkan telah dimulai saat aku kuliah. Ini hanya bagian akhir yang memang selayaknya aku dapatkan.
Aku termangu di sudut ruang rumah kontrakanku. Telah dua bulan lebih aku berada di sini, ibuku tidak mengetahui kepindahanku ini. Mereka berada di kampung, dan aku hanya berharap ketenangan yang ada di sana. Kupandangi tiap sisi ruang ini, terasa kelam, bukan karena aku tak terbiasa. Goresan di dinding ini terasa banyak bercerita kepadaku, ada yang vertikal ada yang horizontal. Tapi ada juga goresan yang tidak jelas arahnya, mungkin akibat goresan benda-benda yang silih berganti masuk ke ruangan ini. Goresan tidak jelas seperti hidupku sekarang. Ya… saat prahara datang, siapa yang mengira? Siapa juga yang berharap?
Tidak ada hal yang lebih mengerikan dari pada bersembunyi seperti ini, takut dikejar depkolektor, takut didatangi orang dan malu bertemu teman. Jangankan itu, untuk melihat handphoneku saja aku malu. Jiwaku terguncang, seketika barang-barangku satu persatu aku relakan, aset yang aku punya dijual sudah. Tidak ada yang aku bawa ke rumah kontrakan ini selain tubuhku dan pakaianku. Aku benar-benar parah!
Tiap detak jantungku adalah ketakutan, napasku menjadi terengah-engah, seolah-olah ingin berkata “ kita berhenti di sini saja” badanku tidak terurus, aku juga tidak keluar rumah beberapa waktu. Tidak juga pergi kerja. Loh mau apa kerja, toh kantornya sudah tutup dan gulung tikar, untung saja aku mampu membayar sisa gaji pegawaiku sebelum kami semua berpisah. Berpisah begitu saja, dengan kenangan yang tidak baik tentunya.
Kriiiinngggg… kembali handphoneku berbunyi membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi panggilan dari si kartu kredit, setidaknya hari ini telah tiga belas kali panggilan tidak terjawab, dan terakhir sms yang berbunyi sama. Mungkin untuk memudahkan, copy-paste saja untuk semua penunggak kartu kredit! Di antara kata-kata terseliplah kata-kata manusia hutang. Aku telah membaca hal itu, entah untuk yang keberapa kalinya dalam beberapa bulan terakhir ini. Membacanya membuat muka terasa tertampar. Aku tidak ingin dikatakan seperti itu, aku juga ingin melunasinya, tidak ingin bunganya terus bertambah.
Kuhembuskan kalimat halus dari mulutku dan didengar oleh telinga serta dengan segera otakku menyambutnya “ kalau aku terus berusaha, aku akan bisa bangkit dari keadaan ini” kemudian otakku mulai mendata beberapa pertanyaan yang akan dijawabnya sendiri. Bagaimana caranya bangkit? Modal dari mana? Usaha apa? Bagaimana cara membayar hutang sekarang ini? Bagaimana kalau keluargamu tahu? dan sederet partanyaan lainnya. Sebagian ada jawabannya dan lainnya tidak ada. Bahkan kalaupun ada, tidaklah mudah untuk melakukannya.
Hanya dengan mengelus dada, berharap masih diberi kesabaran dan kekuatan. Seluruh raga terasa porak poranda, bergetar hebat, tulang-tulang terasa rapuh, luluh tak bertenaga. Ingatanku mengalir ke masa lalu, ketika melihat begitu banyak masalah yang dihadapi manusia yang berada di sekitarku. Aku melihat mereka gali lobang tutup lobang, menahan malu untuk berkata hutang, menahan malu ditagih ke rumah. Aku sungguh tak mengerti kala itu, pikirku dan pikiran orang lain, orang itu tentunya punya begitu banyak masalah dan tidak bisa mengatur keuangannya, atau hal lainnya.
“ Mbak Vivi, tolong bantu tante ya, pinjam uang, ada keperluan mendesak” kata tante Desi, tetanggaku.
“ Tante perlunya berapa? tanyaku.
“ Sedikit sih…” terlihat wajah gusarnya ketika akan menyebutkan nominal uang yang ingin dia pinjam dariku.
“ Berapa tan?” tanyaku lagi.
“ Lima juta Vi…” dengan malu-malu.
Sedikit kaget aku mendengarnya, sedikit katanya? Uang segitu? Bahkan itu adalah kurang dari gajiku sebulan. Tapi karena masih ada tabunganku yang dapat membantu tante Desi, aku memberikannya. Dengan keadaan aku yang dulu tentunya aku tidak mungkin tidak membantunya. Walau aku tahu, bahwa tante Desi banyak membuat masalah di lingkungan tetangga, tidak ada yang mau berteman dengannya, setiap hari ada saja orang datang menagih ke rumahnya, bermacam-macam jenis pinjaman lagi. Dia selalu tidak ada di rumah, lebih tepatnya lagi bersembunyi. Tapi aku mengingat anak-anaknya yang masih kecil yang hanya hidup dengan seorang ibu yang menjanda. Ya, tante Desi seorang janda yang banyak masalah, setidaknya itu yang terpatri di masyarakat sekitar komplek kami.
Bayangan akan tante Desi, mengingatkanku akan posisiku sekarang ini. Hal itu terjadi juga padaku yang awalnya memiliki segalanya. Perasaan tante Desi dapat aku rasakan, bahkan lebih membuncah. Terdengar pintu rumah digedor oleh seseorang. Aku memperhatikan lewat celah jendela dari kamar, terlihat beberapa laki-laki kekar di luar sana. Mereka mencariku, persembunyianku telah diketahui. Apa boleh buat, aku membukakan pintu untuk mereka. Mempersilahkan mereka duduk di tikar rumah ini. Mereka memulai tugas mereka dan berbicara banyak hal kepadaku. Aku hanya mendengar kata-kata “Manusia Hutang” dari mulut mereka, kata-kata lain seolah tak tercerna di kepala ini. Hanya kata-kata itu terus yang terngiang dan terulang serta menggumpal memenuhi otakku. Manusia Hutang!
Terinspirasi dari film Confessions of a Shopaholic