Jane dan Aku

Agh… mereka begitu tak berperasaan” aku melirik teman yang berada di samping. Ia tak bergeming, ia tampak lebih marah dariku.

“Tak ada gunanya menangis kawan” jawabnya pasrah.

“Benar, kalau aku mati mungkin tak ada satupun makhluk Tuhan yang akan menangisku. Aku begitu terlihat menyedihkan” aku tertunduk.

“Ya, tak kan ada yang menangisi kita. Mereka akan segera memenggal kita, cepat atau lambat” temanku menatap segerombolan orang-orang yang masih berada jauh di depan. Tapi kebisingan yang mereka buat, terdengar oleh kami.

“Kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, tapi sungguh kekejian mereka membuat aku patah arang kawan. Aku ingin mereka tahu apa yang kita rasakan” aku menahan pedih dan sakit yang begitu dalam. Terdengar gerakan malas temanku, nampak ia sudah enggan sekali bergerak. Seakan nyawa tak sampai lagi untuk esok hari.

Hari pun beranjak sore, berarak-arak gerombolan orang itu pergi meninggalkan kami. Kami pun bernapas lega, setidaknya kami tidak mati hari ini. Setidaknya masih bisa melihat mentari esok hari, esok, dan esoknya lagi. Aku berharap…

Tiba-tiba sunyi menyergap malam. Mereka telah pergi, untuk datang kembali esok hari, mungkin menjumpaiku atau temanku yang lain, yang belum bernasib mujur. Malam hanyalah malam. Aku melihat sejenak temanku yang berada tepat di sampingku itu. Ia tetap diam, entah marah atau apa? Aku tak tahu…

Tak mungkin kami ngobrol banyak malam ini, sedangkan hati kami bergejolak hebat. Gejolak yang tak dapat kami tunjukan satu dengan yang lain. Membuncah pun harus kami tahan. Karena tak ada gunanya semua ini dibahas. Akan menguras tenaga dan pikiran kami. Akan membuat kami semakin resah.

Andai kami punya pimpinan yang bisa diandalkan, mungkin kami tak kan begini. Tak kan ada kecemasan. Kau tahukah? bagaimana rasanya jika maut sudah begitu dekat? Detik-detik malam ini pun terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Kau tahukah? Aku begitu ingin berteriak dan menangis begitu kuatnya… tapi tak mungkin, tak kan ada yang mendengarkanku, memeluk dan menghiburku dari kegelisahan yang teramat menyakitkan.

Kulirik sedikit temanku, ternyata ia terlalu lelah dan memilih untuk tidur. Ya… kami butuh tenaga yang ekstra esok hari, menunggu tubuh kami terpotong-potong. Aku telah melihat, sebagian temanku yang bernasib sial, terpotong-potong tubuhnya, tak berarti. Sebegitu tak berharganya kami di mata mereka, begitu hinanya, sehingga semena-mena mereka memperlakukan aku dan temanku yang lain.

***

Sedikit hangat itu, terasa di tubuhku. Tapi mataku terlalu berat untuk terbuka. Mungkin karena terlalu lelah malam tadi, Hingga larut malam sudah aku mengistirahatkan ragaku.

“Hei bangun!” temanku berteriak padaku. Aku sontak kaget, dan kulihat matahari sudah bersinar terang dan menyilaukan di atas sana.

Ehmm sudah pagi ya?” pertanyaan bodoh itu pun terlontar dariku dan membuat temanku bertambah kesal.

“Iya sudah pagi” jawabnya ketus.

“Apakah hari ini giliran kita?” tanyaku lemas.

“Aku tak tahu, mudah-mudahan bukan” temanku berharap.

Mentari pagi yang hangat ini pun tak dapat menghilangkan kegelisahan kami. Udara pagi nan sejuk dan dedaunan kecil di sekeliling kami yang masih berembun, sungguh fenomena yang menakjubkan. Begitu indah pagi ini…

“Sudahlah, kita tunggu saja mereka, bukankah tubuh kita lebih kuat dari mereka?” tanya temanku mantap.

“Benar, kita bertubuh lebih kuat, tapi mereka lebih canggih. Lihat alatnya? Dan juga personelnya? Untuk melumpuhkan kita saja, mereka sudah ekstra kerja keras. Sudahlah…”

“Kita bisa menggulingkan badan di atas mereka, sehingga mereka tak berdaya” temanku memberi ide.

“Itu kalau arah dan sasaran kita tepat, tapi kita sudah tak bernyawa, tak kan bisa, sudahlah…” pasrah, itu yang terbaik bagiku.

“Hei, lihat siapa yang datang mendekati kita” temanku menatap seorang anak gadis remaja yang sedang berjalan ke arah kami. Pakaian santainya menunjukkan ia seorang gadis lapangan, tomboy, dengan celana jeans dan jaket kulitnya. Tas ranselnya terlihat berat. Ia memperhatikan sekeliling, dan juga memperhatikanku.

Kutatap matanya yang berwarna biru itu, sungguh indah. Sorotan matanya menandakan ia adalah gadis terpelajar. Rambut pirangnya tergurai indah, menambah keistimewaan dirinya. Kulihat ia membawa buku catatan, berkeliling tak tentu, sambil memegangi kami satu-satu.

Ia mengelusku, memperkirakan usiaku. Aku hanya bisa diam.

Seorang laki-laki paruh baya datang menghampirinya. Merangkulnya.

“Bagaimana, baguskan jati-jati ini?” laki-laki itu bertanya.

“Bagus pa… tapi kenapa semua mesti ditebang. Kan kasihan…”

“Karena memang mereka ditanam, kegunaannya untuk diproduksi menjadi barang yang lebih bermanfaat bagi manusia” Laki-laki yang merupakan ayah gadis itu memberi komentar, membuatku berpikir dan melirik temanku.

“Tak ada yang tak sayang akan mereka, mereka ciptaan Tuhan, tapi itulah takdir mereka untuk memberi manfaat bagi sesama, mereka dipotong-potong untuk diproduksi menjadi barang yang bagus dan bermanfaat tentunya, Jane, kau sudah lihat yang sudah jadi?” laki-laki itu bertanya pada putrinya.

“ Belum pa, aku hanya diberi tugas oleh guruku untuk mencatat berbagai tanaman yang ada di Indonesia, terutama yang tumbuh di hutan, makanya aku minta paman Agus mengantarku ke lokasi ayah ini. aku ingin melihat langsung” papar gadis cantik bernama Jane itu.

Aku berpikir, mungkin gadis ini adalah blasteran Indonesia, toh kelihatan rasa sayangnya pada hutan yang ada di Indonesia. Ia menghampiriku lagi, memandang tubuhku.

“ Kapan rencana yang ini akan dipotong pa?” tanya Jane, yang membuat aku terkejut. Dia terus saja memegangku, mengelilingi tanpa tahu perasaanku. Sungguh menyesakkan!

“ Kenapa? Jane suka yang ini? Jane mau dibuatkan apa?”

“Ehmm aku suka yang ini, batangnya kokoh. Jane ingin dibuatkan meja belajar dengan kayu yang ini” pinta Jane sembari terus  memegangku, membuatku lemas.

Setelah bercakap ringan, merekapun berlalu, meninggalkanku dengan kegelisahan, hanya punggung gadis bernama Jane itu terus melekat dalam pandanganku. Jauh… jauh … bertambah jauh.

Gerimis malam ini, membuat malam bertambah dingin. Suara jangkrik dan serangga lainnya saling bersahut-sahutan. Kulihat temanku lebih tenang dari malam sebelumnya. Sesuatu yang aneh, dan iseng aku bertanya.

“ Kenapa? Tumben tak berkeluh kesah, bukankah kita sudah direquest untuk meja belajar gadis itu”

 “Iya, tapi sepertinya itulah takdir kita. Bukan berarti mereka tak perduli pada kita, kau dengar kan percakapan mereka tadi pagi?”

“ Iya, aku sedikit lega, setidaknya kita menjadi benda yang lebih berguna dan bermanfaat bagi makhluk lain”

“Iya” jawab temanku singkat, mengakhiri percakapan kami malam ini.

Setelah hari itu, Jane selalu datang ke lokasi hutan, menghampiriku dan temanku yang lain, menungguku dipotong dan dengan senyumnya terus saja mengelusku, seperti benda kesayangannya.

Walau sekarang telah terpenggal dan akan segera diantar ke lokasi pembuatan meja. Aku tetap didampingi senyum Jane, gadis yang membukakan pikiranku akan kehidupanku sesungguhnya. Lalu, beberapa hari kemudian, aku menjadi teman setia Jane dalam belajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *