4 LANGKAH MENYELARASKAN NILAI PENDIDIKAN DALAM FILM DAN FILM SEBAGAI SEBUAH INDUSTRI
Film dewasa ini bukan hanya diperuntukan untuk hiburan semata. Banyaknya pilihan dan ragam film, dengan sendirinya memberi dampak dan tujuan di luar itu. Misalnya saja, dengan film kita dapat memperoleh informasi, pengetahuan baru, imajinasi, bahkan menjangkau sisi kehidupan yang ekstrem sekali—kejahatan dan sebagainya.
Wadah penayangan film, seperti bioskop, televisi atau media online mempunyai cara menonton dan akses yang berbeda. Cara memperoleh informasi awal mengenai film pun berbeda. Bila menonton ke bioskop, umumnya penonton sudah mengetahui, punya gambaran, akan menonton film dengan judul apa. Begitu pula dengan media online yang sebagian besar diakses oleh kaum milenial, mereka telah melihat review film terlebih dahulu. Berbeda dengan televisi, di televisi, karena bisa siapa dan kapan saja ditonton bahkan berganti-ganti saluran membuat kemudahan dari sisi akses.
Sayangnya, apakah tayangan dan sajian film di televisi—sinetron itu mendidik? Sebagian besar ketika saya berkunjung ke mana saja, dan saya tanyakan mengenai pandangan beberapa rekan penulis, mengungkapkan bahwa sinetron kita belumlah menyajikan tayangan yang mendidik. Kemudian saya tergerak memberikan ulasan dan tulisan ini sebagai representasi sebagai pendidik dan penulis yang cukup mengerti dua dunia yang saling berhubungan ini.
Di satu sisi, sebagai pendidik dan penulis, saya berharap, dan juga sebagaian besar pendidik, penulis dan orang tua di Indonesia, bahwa film-film di Indonesia mengutamakan nilai pendidikan sehingga tujuan pendidikan tidak hanya milik dan tanggungjawab pemerintah, namun juga sineas di tanah air. Namun, di sisi lain, sineas juga memiliki penilaian yang berbeda mengenai hal ini. Mereka harus melihat sisi ekonomis film, produksi, tren film dan sinetron yang diminati. Dua sisi ini, rasanya cukup jomplang bila ingin diselaraskan. Bahkan energi kita dirasakan habis membicarakan ini. Muncul pertanyaan, apakah tidak ada alternatif sehingga benar-benar sulit diterapkan?
Berikut saya mencoba memberikan alternatif mengenai hal tersebut:
- Membuat tren film baru
Mengapa saya katakan tren baru? Boleh jadi, saat penulisan artikel ini, film horor sedang marak-maraknya di Indonesia. Setiap film yang berkembang di Indonesia, merupakan pembentukan tren itu sendiri. Bahkan, hingga saat ini film horor mendominasi untuk diproduksi. Apa tidak ada satu sineas pun berani membuat tren baru sehingga mendobrak kebiasaan yang sudah ada? Menyajikan tayangan film yang di luar tren, misalnya film anak. Film anak nampaknya tidak menjadi fokus dari sineas kita. Ini terbukti dengan sedikitnya film yang diklasifikasikan untuk semua umur. Bukan berarti tidak ada, Mira Lesmana dengan production house miliknya membuat film “Kulari ke Pantai” dan film ini sangat diminati. Untuk itu, PH lainnya dapat mencoba hal tersebut. Memang ini harus dilakukan secara massal dan tidak dapat dilakukan satu PH saja. Bahkan bila perlu secara berulang. Apa hal ini tidak mungkin dilakukan sedangkan tujuan artistik, seni, hiburan dan komersil tetap dapat dicapai? Apa sulitnya membentuk tren film anak? Silakan ditanggapi di kolom komentar oleh para sineas yang kebetulan membaca artikel ini.
- Jangan membatasi imajinasi
Menurut Rachmawati dan Kurniaty (2010:54) mengemukakan bahwa imajinasi adalah kemampuan berpikir divergen seseorang yang dilakukan tanpa batas, seluas-luasnya dan multi perspektif dalam merespon suatu stimulasi. Kemampuan ini sangat berguna dalam menggali dan mengembangkan daya pikir dan daya cipta tanpa dibatasi kenyataan atau realitas sehari-hari. Imajinasi membantu berpikir flexibility, originality pada anak.
Kenyataannya di Indonesia, imajinasi kita terkadang dibatasi, jangankan film yang akan dibuat, tingkah pola anak di rumah pun acap kali dibatasi oleh orang tua. Ini tidak boleh, itu tidak boleh, wajar saja jika tayangan kita tidak kaya. Pernah saya mendengar seorang teman saya berucap “Film yang imajinatif tentu tidak diterima dengan mudah di Indonesia yang punya kultur berbeda dengan dunia barat”— mungkin ini barangkali menjadi alasan. Tidak ada yang salah dengan imajinasi di luar batas kultur yang ada selama masih dapat dipertanggungjawabkan secara konten. Tokoh-tokoh maupun latar yang imajiner perlu dihadirkan dalam film. Selain menarik dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena berbeda dengan film Indonesia sebelumnya, harus ada pesan moral di dalam film. Menjadi pekerjaan rumah lainnya adalah mencari penulis skenario yang cocok untuk film yang imajinatif.
- Membuat platform baru film di Indonesia
Platform sebagai bentuk pernyataan prinsip dan kebijakan sineas di Indonesia perlu mengarah ke platform baru film Indonesia. Entah akan dinamakan apa nantinya, itu masalah penamaan atau pembingkaian saja, namun arah ke film yang imajinatif penuh dengan nilai-nilai pendidikan perlu menjadi tujuan utamanya. Tentu ini akan berbeda dengan yang ada di negara-negara barat lainnya. Indonesia mengusung platform baru yang akan bernapaskan nilai pendidikan yang ada di Indonesia. Sineas perlu menekan ego akan keuntungan industrinya, karena hal ini adalah penting dan mendesak. Pemerintah, misalnya Bekraf, Kemendikbud, Pusbang Film, Lembaga Sensor Film, Komisi Penyiaran Indonesia dan lainnya perlu mendorong ke arah sana.
- Nonton film di sekolah/ film sebagai media belajar siswa
Nonton film di sekolah memang terdengar biasa dan acap kali pula dilakukan. Tapi, film bukan dijadikan sebagai media, hanya sebagai sarana hiburan dan selingan suatu kegiatan rutinitas yang ada di sekolah. Film tidak dijadikan sebagai media pembelajaran, tidak dibahas tuntas dan diambil makna serta nilai-nilai yang ada. Padahal film merupakan karya seni bangsa yang suatu waktu nanti menjadi sejarah dan akan diulas, sedangkan anak-anak saat ini tidak dikenalkan film sebagai sesuatu warisan yang akan berguna dan bersejarah.
Nilai pendidikan dalam film berkaitan erat dengan budaya bangsa, merupakan kebutuhan mendesak yang perlu dipikirkan bersama. Sebagai contoh, budaya Korea begitu berimbas dan dikenal oleh dunia, salah satunya melalui media film dan dramanya.
Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat perlu bersama-sama paham, bahwa bangsa yang maju, adalah bangsa yang mengedepankan budayanya. Salah satunya mengenalkan nilai pendidikan, moral dan budaya yang ada di Indonesia melalui media film. Demikianlah empat pokok alternatif sumber saran yang saya berikan kepada kita semua.