POLEMIK KATA PENGANTAR DALAM BUKU EMBARA EMBUN MIMPI, KARYA I GUSTI MADE DWI GUNA DAN IRA DIANA
Saya, boleh dikategorikan orang dengan latar belakang matematika, tapi suka jalan-jalan ke bidang bahasa. Entah, siapa memberi makna di antara keduanya, bahasa menjelaskan matematika atau malah sebaliknya. Yang pasti, dua pelajaran ini penting dan diajarkan sejak taman kanak-kanak. Selain itu, menurut saya pribadi keduanya punya hubungan tidak terpisahkan.
Bahasa dalam filsafat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, karena terus saja berkembang. Pengetahuan-pengetahuan yang kita pelajari sebelumnya dapat saja berubah, sebagaimana karakteristik bahasa yang bersifat abritrer, hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu. Bahasa juga bersifat produktif yang artinya dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Bahasa bersifat dinamis yang tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu. Karakteristik selanjutnya, bahasa bersifat beragam artinya mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa digunakan oleh penutur yang heterogen dengan latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun leksikon.
Hal demikian, saya kaitkan dengan bahasa dan bahasan yang disampaikan Narudin. Bukan karena dia memberi pengantar pada buku saya, bukan! Saya pun tidak mengenal secara pribadi siapa dia. Siapa orang-orang di belakangnya. Saya hanya membaca ulasan dan tulisannya. Dari sana saya paham, mengapa ulasan dia sulit dimengerti orang lain, mungkin karena tidak terjangkaunya pengetahuan yang dimiliki mereka atau memang terlalu paham sehingga melebar tidak tentu arah. Ini bukan suatu pembelaan untuk dia, tidak ada gunanya bagi saya secara pribadi. Siapa dia dan siapa saya tetap berdiri di posisinya masing-masing.
Sejujurnya, ketika saya meminta dia untuk membaca dan memberi pengantar pada buku embara embun mimpi, alasan nomor wahid adalah ulasannya yang detail dan tajam serta berimbang. Kritikus, sesuai dengan definisi di KBBI, adalah orang yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu.
Ahli di sini, dapat dimaknai berbeda oleh orang-orang yang membaca tulisan kritukus tersebut. Boleh jadi, dalam penyampaiannya banyak hal yang memengaruhi, misalnya latar belakang pendidikan, cara bertutur, sikap idealisme yang tinggi, sumber yang menjadi rujukan, mata pisau yang digunakan (tajam, menyakitkan atau bahkan tumpul) dan sebagainya.
Seyogyanya, sebuah karya di dunia ini tidak ada yang perlu dielu-elukan hingga menjadi suatu kebenaran yang utuh. Setiap karya memiliki celah untuk dikritik. Kemudian, seorang kritikus yang memulai membangun karirnya bisa jadi mengilhami dan terlibat dengan banyak orang. Lalu, dengan serta merta beberapa di antara kita menyatakan bahwa yang berinteraksi dengan kritikus adalah pengikutnya. Maka, sadarlah, pikirkan bedanya! Itulah cara bersosialisasi dalam kehidupan.
Kembali mengenai Narudin yang memberi pengantar pada buku saya, bila ada yang berasumsi bahwa pengikutnya bodoh dan sebagainya, mari saling berkaca dahulu! Semua hal mungkin terjadi, seperti dalam teori probabilitas matematika. Pengikut yang bodoh bisa saja ada (ini bahasa orang sebelah, sebenarnya tidak ada orang yang bodoh dalam pandangan saya, bisa jadi mereka hanya mulai pada tahap mengamati, belajar, tertarik, berminat terhadap sesuatu), sedangkan yang berwawasan tinggi juga tidak mungkin nihil.
Saya, secara pribadi tidak mengatakan bahwa ulasan Narudin 100% benar, tidak! Namanya juga manusia, ada-ada saja hal yang tidak sepemahaman, sependapat, atau menggunakan teori yang berbeda. Itu wajar. Semua memahami pengetahuan dengan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan keterjangkauan cara pikir dan ketajaman analisis. Minimal yang menjadi catatan saya, “Ini orang cerdas! Dia tahu bagaimana membesarkan namanya. Dia juga mampu menuangkan apa yang ada di kepalanya ke khalayak ramai, bukan cuap-cuap menyalahkan tanpa dasar,”. Hal demikian perlu kiranya, sebagai tolak ukur menilai orang dari berbagai sudut pandang.
Beberapa penjelasan di atas merupakan dasar mengapa buku embara embun mimpi saya serahkan kepadanya untuk diberi pengantar. Mengapa pula dalam tulisan ini, saya sebut dia, dia,… karena sesama generasi muda, sudah saatnya untuk mulai berkolaborasi dalam banyak hal, terutama karya.
Rupanya pengantar dari seseorang yang saya katakan “nyentrik” ini ditanggapi miring oleh berbagai pihak. Mereka sepertinya harus kembali menelaah dan mengerti sastra dengan membaca secara utuh buku embara embun mimpi. Saya dan rekan saya siap dengan kritikan yang bahkan menguliti kami hingga berdarah. Silakan saja. Toh, karya yang lahir bisa dimaknai apa saja. Kami tentu tidak runtuh karenanya. Bahkan, pengendorse buku ini bukan orang sembarangan yang bisa diklaim pihak yang berseberangan dengan sebutan “oon”. Mari cerdas dalam berkarya.
Salam Sastra.