Berkeringat! Ya aku sudah begitu jauh berlari dari komplek rumah. Kulihat Joan lebih takut lagi, ia bersembunyi di balik bak sampah yang begitu gelap. Kami hanya berpandangan tanpa banyak bicara. Aku tahu, ia dan aku sama-sama takut. Aku memilih tempat ini, di bawah tumpukkan meja tak terpakai di balai milik warga.
Aku lihat jelas seorang wanita berjalan dengan pisau tajam yang masih menempel darah. Setiap anak yang terlihat dan ditemuinya akan dibantai habis. Aku sudah melihat temanku Boby mengalaminya, sebelum aku berlari lebih jauh. Sungguh, membuat keringatku bertambah banyak.
Ia berjalan menuju arah persembunyian kami. Pisau yang dipegangnya diarahkan pada setiap benda yang dilewati, sehingga bunyi nyilu menyayat dan mencekam, menghentak-hentak jantungku.
Pasrah. Itu saja. Dia semakin dekat. Aku mencoba menoleh sedikit dari balik meja. Melihat rupanya. Ia seorang wanita paruh baya, mirip ibuku! Mirip sekali bahkan. Tapi aku jadi bertanya-tanya mengapa ibuku menjadi wanita pembunuh berdarah dingin seperti ini. Mustahil!
Ia semakin dekat. Aku menahan napas, agar tak terdengar olehnya. Kulihat ia tak ke arahku, melainkan ke arah bak sampah, dimana Joan bersembunyi. Singkat! Sekali tebas!
“Arggghhh…” suara Joan di ujung sana.
Aku tak tahu, bagian apa yang terluka di tubuhnya. Aku tak mampu membayangkannya. Hanya suara itu yang terdengar, kemudian lenyap…
Sekarang aku perlu waspada terhadap nyawaku. Ia sepertinya tak kan menghentikan langkahnya saat ini. Entah berapa anak lagi yang dicarinya.
Bunyi pisau yang diarahkan pada benda-benda yang dilaluinya perlahan-lahan menghilang. Aku memberanikan diri untuk melihat. Gerakan pelan, aku keluarkan kepalaku sedikit dari balik meja, melihat ke arah luar, dan ia tak ada. Syukurlah.
Aku menyeka keringat yang membanjiri wajahku. Aku tak tahu, padahal udara malam ini begitu dingin, tapi aku berkeringat. Aku keluar dari persembunyian, berlari memutar arah ke arah rumahku. Ya… rumah adalah tempat persembunyian yang aman dari pada di jalanan.
Aku terus saja berlari tanpa berani menoleh ke belakang, dan…
“Puji…” suara seorang laki-laki terdengar jelas dan kencang, membuatku terkejut.
“Eh… kamu Tio” jawabku masih terengah. Aku terus berlari walau Tio menyusulku dengan ekspresi bingung.
“Kenapa terlihat terburu-buru Ji? Ada apa?” tanya Tio bingung.
“Kamu tak tahu apa? Seorang wanita mengejar dan akan membunuh kita semua…” jawabku sambil terus berlari, ya rumahku tingggal satu blok lagi.
“Siapa? Wanita mana? Tidak ada tuh” Tio tambah bingung.
“Aghh… Joan dan Boby aku lihat sendiri, digorok oleh pisaunya. Ngeri Tio… Aku mau pulang, dan… wanita itu masa…, mirip ibuku…” terangku terbata-bata, antara percaya dan tidak.
Aku tak perduli lagi dengan pertanyaan Tio yang lain. Aku melihat jelas, pintu rumahku. Aku membuka pintu dan bergegas menutupnya tanpa memperdulikan Tio.
Kulihat keadaan sepi, mungkin ayah dan ibuku telah terlelap di kamarnya. Ya… aku perlu, masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku bersandar di balik pintu yang telah terkunci, melihat kasurku yang empuk itu. Berpikir, bersembunyi di balik selimut akan menenangkan diriku.
***
“Puji….bangun! sudah pagi ini” terdengar suara ibu membangunkanku. Perlahan kubuka mataku, kemudian bangkit dan duduk.
“Kenapa ekspresinya seperti itu?” ibu bertanya.
“Ibu ke mana malam tadi? Ibukah yang mengejar anak-anak yang main di luar?” tanyaku memberanikan diri.
“Main di luar?, tidak. Kenapa sayang? Kamu masih marah sama ibu ya? Soal yang kemarin, ibu marah karena kamu keluyuran habis ngaji di mesjid enggak pulang-pulang” tanya ibu.
“Ehmm…mungkin aku jadi kebawa mimpi bu… aku mimpi ibu membantai anak-anak yang ada di jalanan pada malam hari, sadis banget bu, wajah ibu juga seram…” aku nelangsa, karena semua hanya mimpi.
“Wah…wah, sampe tempat tidurnya basah keringat ini” ibu geleng-geleng kepala.
“Kamu tidur tidak baca do’a ya…lain kali baca do’a dong Puji…Puji… Yuk kita sarapan” ajak ibu.
Kami ke ruang makan. Ibu menyiapkan sarapan. Ibu memegang pisau untuk memotong roti, pisau yang sama, ibupun tersenyum aneh kepadaku, dengan pisau masih digenggam.
“Ighh ibu…” aku menutup wajahku yang seolah masih terbalut mimpi.
By: Ira Diana- 2014