Hallyu atau Nasionalisme?
Oleh: Ira Diana
Hallyu atau sering juga disebut Korean Wave merupakan istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di beberapa negara di dunia. Hallyu umumnya memicu banyak orang di negara-negara tersebut untuk mempelajari bahasa dan budaya Korea.
Masih ingat di perjalanan sejarah kita, bahwa Hallyu sempat menghiasi kebudayaan Indonesia, terutama mengenai kebiasaan berpakaian anak muda. Remaja abad ke-20 mulai digandrungi oleh fashion yang bercermin pada budaya Jepang dan juga Korea. Hallyu diikuti pula dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film.
Dari segi masakan, sangat mudah dijumpai restoran yang menyajikan makanan khas Korea. Beberapa tayangan televisi yang menghadirkan Chef ternama terkadang mendemonstrasikan memasak ala Korea. Begitu juga dengan elektronik produkan Korea, sudah menjamur di Indonesia, sebut saja brand Samsung. Samsung kemudian menggeser kedudukan merk lainnya yang telah lama digunakan seperti Nokia.
K-Pop seperti Super Junior, SNSD, Big Bang dan lainnya menjadi perhatian dunia. Bukan hanya karena personilnya yang tampan dan cantik, serta pakaian yang unik, tetapi budaya dance ala Korea dan musiknyapun menjadi nilai tambah.
Pertelevisian Indonesia agaknya telah terjangkit virus K-Drama atau Drakor (Drama Korea), bagaimana tidak, beberapa stasiun televisi, seperti Indosiar, RTV, RCTI menayangkan drama-drama Korea. Fans K-Drama membuat komunitas tersendiri, mengulas drama-drama baru yang akan tayang di Indonesia, bahkan info-info streaming drama terbaru. Bermunculan pula bloger khusus pencinta Korea.
Berbeda dengan drama dari negara-negara lain seperti Turki, India, Vietnam, dan lainnya, yang hanya ditonton di televisi saja dan itu sudah sulih suara. Komunitas pencinta K-Drama, rela untuk streaming nonton drama terbaru dengan subtitle dari negara masing-masing. Sehingga bisa dimaklumi bahwa kemampuan mengenal kosa kata dasar pada bahasa Korea, sudah sangat familiar bagi mereka. Ulasan dan chat antar negarapun sering dilakukan di media online ketika selesai menonton satu episode drama.
Drama dan film Korea memang cukup fenomenal bukan hanya di Indonesia tetapi di beberapa negara, seperti China, Hongkong, Vietnam, Amerika Latin, Timur Tengah dan lainnya. Karena arus globalisasi dan kemajuan teknologi, hiburan ini mudah kita jumpai, bahkan impor dramapun dirasa tidak terlalu memakan biaya. Sebagai contoh, serial drama televisi Korea Selatan, Descendants of the Sun, menjadi sensasi hingga ke berbagai negara. Booming-nya drama yang dibintangi Song Hye Kyo dan Song Joong Ki itu membuat stasiun televisi nasional memperebutkan hak siarnya demi menayangkan pertama kali di tanah air.
Sebelumnya ada beberapa judul drama yang menyita perhatian, baik yang mengambil tema tentang percintaan modern maupun kolosal seperti Boys Before Flower, yang menceritakan empat anak laki-laki kaya yang berkuasa di sekolah serta persoalan cintanya; The Heirs, lagi-lagi menceritakan anak laki-laki dari keluarga kaya yang menyukai perempuan anak seorang pembantu; Full House, menceritakan persoalan kawin kontrak; “Dae Jang Geum” atau “Jewel in the Palace” merupakan salah satu drama Korea kerajaan yang paling banyak ditonton waktu itu. Tak hanya di negeri asalnya, saat ditayangkan di Indonesia, serial drama kolosal ini mendapatkan rating yang sangat tinggi; Queen Seon Duk; Arang and the Magistrate; dan Sungkyunkwan Scandal serta banyak judul lainnya yang telah tayang di Indonesia.
Ada banyak alasan mengapa drama Korea diminati, antara lain alur cerita yang menarik, sulit di tebak, membuat penasaran, di samping aktor/aktris yang tampan dan cantik. Skenario untuk drama rata-rata 16 sampai dengan 20 episode, artinya memang drama-drama tersebut sudah digarap untuk kurun waktu tertentu, berbeda dengan kebanyakan drama atau serial lainnya, yang dilihat dulu progress serialnya, kalau bagus dilanjutkan, jika tidak dibungkus. Hal ini salah satu sebab, jalan cerita jadi ke mana-mana, dan tak jelas lagi.
Bagi Korea sendiri, ini merupakan cara atau strategi mengenalkan budaya mereka ke negara lain. Dengan tidak mengurangi kualitas dan cara kerja, semua “tawaran” ini diterima beberapa negara tetangga karena dianggap berkualitas, unik, dan bagus.
Lalu bagaimana dengan kita? Timbul pertanyaan ketika fenomena ini dirasakan deras mengeser sendi-sendi nasionalisme kita. Remaja sekarang lebih kenal dengan fashion, K-pop, K-Drama ketimbang seni dan budaya asli Indonesia. Bagaimana mencintai hasil dari negeri sendiri ketika kita lebih hapal dan paham budaya asing. Sinetron kita bahkan tidak memiliki tempat di hati pemirsa penikmat film. Anggapan kurang berkualitas, garapan asal jadi, unsur budaya asing yang terkadang berbeda dengan kultur budaya kita malah masuk ke sinetron-sinetron kita, dengan kata lain, banyak yang tidak mendidik!
Menyalahkan siapa-siapa adalah pikiran yang tidak baik, selain tidak menghasilkan apa-apa, juga tidak menjadikan perfilman di Indonesia menjadi berkembang. Globalisasi yang tak dapat ditolak semestinya menjadikan kita lebih banyak belajar, mengambil hal-hal baik dari negara-negara tetangga, baik itu dari segi teknis maupun penggarapan serta bagaimana budaya mereka bisa dengan mudah dikenal negara-negara lainnya. Usaha-usaha ini kiranya perlu ditingkatkan. Bagaimana meningkatkan kualitas film Indonesia baik film maupun sinetron, sehingga tayangan tersebut bermuatan positif yang mempunyai nilai.
Saat ini gempuran itu terasa untuk sinetron Indonesia terhadap derasnya K-Drama, tetapi ini bukan satu-satunya, ada beberapa drama dari negara tetangga tengah gencar masuk, sebut saja India, dan sekarang Turki. Apa kita perlu takut? Tentu saja tidak. Sinetron Indonesia tetaplah bagian dari seni budaya bangsa. NKRI harga mati dan nasionalisme harus terus dijaga. Tentu, harapan kedepannya konten dan mutu sinetron terus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dan menjunjung tinggi budaya ketimuran. Toh, buktinya telenovela yang sempat digandrungi itu, hilang juga.—