Wabi-Sabi dalam Buku Embara Embun Mimpi
Karya I Gusti Made Dwi Guna dan Ira Diana
Buku Embara Embun Mimpi merupakan buku antologi haiku yang dipadu padan dengan lukisan yang disebut haiga. Buku ini ditulis oleh saya (Ira Diana) dengan rekan di Bali bernama I Gusti Made Dwi Guna, selanjutnya sebut saja Guna. Berkenalan sejak pertemuan penulis Sayembara Buku yang diselenggarakan Pusat Kurikulum dan Perbukuan tahun 2013. Saat itu, saya menulis buku naskah drama sedangkan Guna menulis buku biografi.
Pertemanan sesama penulis Puskurbuk itu tidak hanya saya dan Guna, melainkan teman lainnya saling menyapa di dunia maya. Ada satu buku pernah kami terbitkan bersama dalam buku antologi cerpen.
Empat tahun berlalu, bukan berarti tidak ada yang kami “ingin” kerjakan. Pernah suatu ketika Guna menanyakan tentang Bengkulu kepada saya. Guna meminta saya jadi penutur, sayangnya saya tidak begitu berminat dengan sejarah—sebenarnya lebih takut salah bicara. Kemudian, kita juga pernah menulis prosa yang hingga kini terbengkalai, terasa lama merampungkannya.
Saya kemudian asyik menulis puisi. Entah angin apa, saya membuat buku puisi tunggal yang di dalamnya ada kumpulan haiku juga. Buku puisi tersebut adalah buku puisi pertama saya, berjudul “Lumut” yang menurut saya pribadi penuh keharuan. Bagaimana tidak, saya begitu kesulitan dan pada tahap belajar menulis puisi kala itu. Dengan keberanian menggunakan gambar dan foto, kemudian saya mulai menuliskan puisi-puisi serta haiku saya di media sosial. Utamanya di Instagram dan fb pages.
Haiku sendiri rupanya seperti penyakit menular, beberapa teman kemudian mulai belajar menulis haiku. Karena haiku cukup sederhana, maka dapat dengan mudah mempelajarinya. Singkat cerita, demikianlah lahir buku Embara Embun Mimpi di penghujung tahun 2017 dan cetakan pertama di awal tahun 2018.
Wabi-Sabi Estetika Jepang
Rasa bahagia seorang penulis adalah ketika bukunya dapat diterima dan mendapatkan endorsement yang baik dari orang-orang di sekitar. Berikut beberapa endorsement pada buku Embara Embun Mimpi.
EMBARA EMBUN MIMPI, karya Guna dan Ira. Sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang kesederhanaan, kesunyian, dan ketenangan. Tapi lebih dari itu, 101 Haiga dan Haiku Guna dan Ira, mengandung pelajaran: Bagaimana mengolah pikiran dan mengendalikan perasaan. –Dr. Mukhlis PaEni, M.A, Budayawan.
Jujur, ini buku yang ingin saya tulis juga …. Antalogi haiku dipadu padan dengan ilustrasi yang disebut haiga. Dwi Guna dan Ira berhasil menyajikan fenomena alam Nusantara secara apik dan sederhana dalam bingkai haiga. Buku yang baik untuk berbahagia dengan puisi tradisional Jepang ini. — Bambang Trim, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) dan Direktur Institut Penulis Indonesia.
Sebagai penulis yang tumbuh dalam tradisi sastra Melayu-Nusantara, dulu saya bersikap skeptis terhadap haiku, puisi khas Jepang yang, menurut saya, mengandung ‘split’ estetika. Ini berbeda dengan pantun dan syair, misalnya, dimana kata, irama (bunyi), dan makna begitu solid. Belakangan saya tahu haiku berusaha menyatukan yang terpecah itu. Haiku juga merefleksikan kosmologi orang Jepang; sebagaimana pantun/syair merefleksikan kosmologi bangsa Melayu. Maka tidak mudah bagi penyair Indonesia untuk menulis haiku. Namun Guna dan Ira menunjukkan sebaliknya. Mereka mampu mengatasi kedua problem di atas; estetikanya berdenyar menyentuh intuisi, dan kosmologinya berpijak di lingkungan sendiri. — Ahmad Gaus, Dosen sastra Swiss German University (SGU), penulis buku puisi Senja di Jakarta (2017) dan Kutunggu Kamu di Cisadane (2013).
日本人として、この南半球でインドネシアの方が俳句を詠み俳句に親しまれるのを誇りに思います。
定型の短い文章の中で、一瞬にして、読者を詠み手の目の前の世界へと誘ってくれる俳句。
著者達が紡ぎ出す言葉の「わび・さび」に感銘を受けました。
Sebagai orang Jepang, saya bangga penulis Indonesia menikmati menulis Haiku di belahan bumi selatan ini.
Dalam kondisi tertentu, dalam sekejap mata, saya diundang ke dunia penyair Haiku.
Saya terkesan dengan perasaan Wabi-Sabi dalam kata-kata yang berhasil mereka jalin.—Megumi Nakao, pecinta buku.
Dari beberapa endorse di ataslah kemudian saya menemukan istilah yang tidak biasa (saya tidak tahu sama sekali) yaitu Wabi-Sabi. Karena saya tidak mengetahui arti kata tersebut dengan segera tulisan Jepang tersebut saya kirim ke seorang teman, Takeo Naraya untuk mendapatkan tanggapannya.
” Ira, I’m all for her. It’s not so easy for many Japanese to understand it well. To quote my Japanese-English dictionary: wabi: the beauty to be found in spareness and simplicity. sabi: elegant/quiet simplicity. I hope you would sharpen your sense of beauty, distance, time and all that in your daily life”
Wabi-Sabi jika diterjemahkan sederhana bisa bermakna beauty in simplicity seperti yang disampaikan Takeo. Tapi, ketika kita telusuri lebih dalam, bahkan sebagian orang Jepang pun tidak dapat memberikan definisi yang pasti dari kata ini. Beberapa dari mereka memberikan contoh perilakunya saja. Bahkan Daisetz T. Suzuki, seorang ahli bahasa yang aktif menginterpretasikan budaya Jepang ke dunia barat, mengatakan bahwa Wabi-Sabi adalah salah satu bentuk estetika penghormatan terhadap kemiskinan, bukan kemiskinan seperti yang kita bayangkan atau takutkan, tapi lebih kepada bagaimana kita dapat hidup sederhana dan berkecukupan tanpa dikuasi keserakahan.
Di dunia barat, estetika ini dikenal sebagai “jerih payah” atau “kerja keras” yang menghasilkan kemegahan, simetrisiti (keselarasan), kesempurnaan, dan nilai-nilai keabadian. Sedangkan dalam falsafah timur, Wabi-Sabi berarti menemukan keindahan dalam hal-hal sederhana, tidak sempurna, usang, rusak, dan bahkan hal-hal yang sudah mati. Secara singkat dapat diartikan sebagai: menemukan sisi positif di antara ketidaksempurnaan.
Wabi-Sabi sendiri adalah gabungan dari dua kata yang penggunaan awalnya diterapkan oleh penganut aliran Zen Budhishm. Wabi sendiri bisa bermakna kesederhanaan, bebas dari keserakahan, rasa marah, dan merasa nyaman menjadi dirinya sendiri. Sementara Sabi bisa bermakna the bloom of time. Artinya, bahwa segala hal tidak akan lepas dari yang namanya usia, dan tumbuhnya kesadaran bahwa setiap hal yang sudah ditempa waktu dan termakan usia, memiliki ceritanya sendiri, memiliki keindahan dalam setiap goresan-goresan dan retakan-retakan yang disebabkan oleh waktu. Maka, muncul istilah Wabi-Sabi, melihat kecantikan dari satu hal yang sederhana.
Karena berkaitan dengan aliran Zen Budhishm, maka Wabi-Sabi sering dikaitkan juga dengan haiku. Puisi pendek tradisional Jepang yang minim kata, tetapi di sanalah kerja keras penulis dimunculkan agar haiku yang dihasilkan berkesan. Tetapi bagi kami, saya khususnya, memaknai Wabi-Sabi ini dengan rasa syukur akan karya yang dihasilkan. Rasa bahagia di dalam diri, memberikan nilai dan pikiran positif serta rasa bangga yang tidak berlebihan.
Semoga teman-teman yang membaca tulisan ini berkenan hadir pada peluncuran dan bedah buku Embara Embun Mimpi yang akan dilaksanakan pada Sabtu, 20 Januari 2018 di PDS HB Jassin TIM Jakarta Pusat, pukul 11.00.
Penasaran dengan isi buku, silakan diorder ya…
Terima kasih.