….
Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?
Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”
Hideyoshi menjawab, “Buat burung itu ingin berkicau.”
Ieyasu menjawab, “Tunggu.”
…
Demikian sepenggal catatan untuk pembaca yang ditulis Eiji Yoshikawa dalam bukunya yang berjudul TAIKO[1]. Tokoh Hideyoshi pada buku ini, kiranya tepat untuk menggambarkan “puisi esai” yang membuat sastrawan tanah air mengakui keberadaannya. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Bila Hideyoshi digambarkan sebagai Taiko yang menyatukan bangsa, maka puisi esai pun demikian, menyatukan sastra, fenomena dan ilmiah.
Tiga tokoh dalam buku Taiko memiliki sifat dan cara berbeda dalam menghadapi sesuatu. Begitu pula cara berkembangnya puisi esai ini, menjadi kontroversi karena “cara” yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan pemikiran dan lahirnya genre baru puisi esai erat kaitannya dengan paradigma baru yang kita kenal sebagai postmodernisme.
Ada beberapa asumsi yang menyatakan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain, pertama, postmodernisme adalah pergerakan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan). Kedua, postmodernisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya (Ahmed, 1994:22). Ketiga, postmodernisme bersifat lebih populis karena menghilangkan batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture).[2]
Harapan-harapan itu, terwujud dalam bentuk puisi esai. Dengan keunikan, fakta, potret sosial masyarakat, keindahan diksi, data dan referensi. Persoalan “cara” menggerakkan dengan himbauan atau ajakan dari pelopor kepada penulis dengan imbalan adalah salah satu hal yang mengusik pihak berseberangan. Sebenarnya, hal ini juga terjadi pada gerakan menulis yang pemerintah adakan, sebut saja sayembara-sayembara yang diadakan, sudah ditentukan tema, bentuk, sistem serta imbalannya. Kemudian, mengapa puisi esai diributkan? Jika demikian miripnya prosedur yang ada.
Barangkali bila persoalan klaim gagasan puisi esai dan pelopornya adalah orang yang bergerak dalam bisnis. Maka dapat dijelaskan bahwa, pertama, bila berbicara mengenai klaim puisi esai sudah ada sejak lama? Siapa yang mengklaim? Apakah sudah dipatenkan? Nah, tidak adakan? Jadi, sah-sah saja bila Denny JA melakukan hal ini sekarang. Kedua, jika persoalannya karena digagas dari orang yang berlatar belakang pengusaha, apa yang salah? Apakah puisi hanya milik mereka dan nenek moyangnya yang berlatar belakang sastra? Tentulah tidak. Sifat mengkotak-kotakan ilmu pengetahuan, seni dan budaya menunjukkan rendahnya pola pikir yang ada.
Puisi esai yang digagas oleh Denny JA ini, seperti kicauan burung yang tidak dapat dihentikan. Baik yang mendukung maupun yang tidak. Perdebatan ini menghiasi berbagai laman resmi, sosial media, bahkan terjadi pada dunia nyata dalam bentuk debat terbuka. Terus terang, saya mengamati puisi esai ini sejak 2013 ketika melihat tayangan film “Sapu Tangan Fangyin” dan “Minah Tetap Dipancung”. Ketika sebuah puisi dibacakan kemudian diberi ilustrasi atau gambaran mendekati kejadian oleh sang sutradara, bagaimana efeknya? Satu kata, Dahsyat! Unik memang, ketika selama ini kita melihat beberapa penyair hanya menikmati puisi di sebuah panggung, atau katakanlah dimusikalisasikan, tetapi dengan puisi esai ini, bisa dengan banyak cara.
Sesuai judul, saya akan fokus pada kicauan puisi esai di tengah gelanggang sastra tanah air, asia dan segera mendunia. Maka point itu akan saya bahas satu persatu dalam perspektif saya sebagai salah seorang penulis, pendidik, pengusaha, dan juga pekerja di lembaga negara—mirip puisi esai yang menggabungkan berbagai aspek.
Puisi Esai di Tanah Air
Tidak dipungkiri, gelanggang sastra tanah air telah mengakui keberadaan puisi esai. Beberapa bukti dapat saya tuliskan yaitu; lahirnya buku puisi esai dari setiap provinsi di tanah air, buku pergolakan puisi esai, serta deklarasi lahirnya angkatan puisi esai. Syarat-syarat sebagai angkatan baru pun telah dipenuhi, namun mengapa masih ada pergolakan?
Jawabnya sederhana saja. Sebagaian dari kita memang tidak bisa menerima keterbaruan suatu hal. Sulit menerima! Pola pikir lama telah melekat keras bak batu dalam kepala. Sedangkan, dunia terus berkembang begitu juga halnya bahasa, termasuk di dalamnya puisi.
Kreativitas dalam menemukan genre baru puisi, patut diacungkan jempol. Tidak mudah, dan tidak pula dapat diterima oleh semua pihak.
Puisi Esai di Asia
Puisi esai telah dikenal di Asia. Misalnya Malaysia. Pada Temu Sastrawan Asia Tenggara di Sabah, Malaysia, puisi esai pada buku puisi Denny JA turut diperbincangkan dan dibahas. Sastrawan Asia yang hadir pada acara tersebut telah mengungkapkan kekaguman akan puisi-puisi esai, karena mempunyai style yang berbeda dengan puisi kebanyakan, kepekaan pikiran dan sosial masyarakat, peristiwa nyata yang diangkat dan sebagainya.
Tentu, hal ini akan lebih meluas lagi, tidak hanya di Asia Tenggara melainkan daerah Asia lainnya, karena keistimewaan puisi esai tersebut. Kubu pro puisi esai harus merapatkan barisan untuk mempublikasikan jenis puisi ini di daerah Asia lainnya, melalui berbagai kegiatan yang melibatkan negara-negara tersebut.
Puisi Esai Segera Mendunia.
Segera Mendunia, diberi tekanan penulisan dengan dimiringkan. Hal ini dikarenakan selalu ada kemungkinan untuk itu. Lalu, siapa yang akan mengenalkan puisi esai ke dunia? Tentulah kita bersama. Setelah berkiprah di tanah air, Asia, tidak mustahil puisi ini dikenalkan pada dunia.
Pertanyaan yang terlintas selanjutnya adalah bagaimana caranya?
Pastinya puisi esai yang ada, dibuatkan terjemahannya. Atau beberapa dari penulis puisi esai yang berkemampuan menulis dalam bahasa asing, tidak hanya inggris, dapat menulis dalam berbagai bahasa. Misalnya menuliskan puisi esai dalam bahasa Jerman, Jepang, dan bahasa lainnya.
Media untuk mengenalkan genre baru ini, cukup banyak. Buku kumpulan puisi ini dapat diikutsertakan pada pameran buku Internasional. Pada kegiatan-kegiatan temu sastrawan mancanegara, puisi esai dapat pula dibacakan, dibedah, dan didiskusikan.
Pada akhirnya, pihak berseberangan akan lelah dengan sendirinya. Puisi esai akan terus berkembang dan dikenal. Ini, hanya masalah waktu. Beberapa kali saya berbincang, baik dengan sesama penulis, penyair, maupun rekan-rekan akademisi, saya tanyakan tanggapan mereka tentang puisi esai ini. Semua rekan baik saya itu, menyampaikan tanggapan yang positif. Alasan yang mereka sampaikan pun beragam dan dari berbagai aspek atau sudut pandang.
Saya menyakini, bahwa puisi esai kemudian hari dapat menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan, seni dan budaya Indonesia yang perlu dipelajari dan dilestarikan.
[1] Eiji Yoshikawa, Taiko, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
[2] Radfan Faisal, Kajian Postmodernisme Pada Novel “Maryamah Karpov” Karya Andrea Hirata, Jurnal Artikulasi Vol. 7 No.1 Februari, 2013. h.397