Nama, bila diikuti gelar akademis maupun non akademis akan membuat si empunya nama makin keren. Sebut saja, si Doktor Rina misalnya, seorang Doktor di bidang ilmu komunikasi. Nah, hal tersebut membuat si empunya nama bangga, yang mendengarkan pun merasa adem. Entah itu, gelar yang diselipkan di depan maupun belakang nama. Lain hal bila kita mendengar gelar-gelar seperti di bawah ini:
Si gembul
Si item
Si amoy
Si jandess
Si panu
Si sotoy
…
Dan masih banyak lagi gelar yang tanpa sadar kita selipkan pada nama orang lain. Bahkan tak jarang, melibatkan anggota keluarganya. Miris memang, ketika kaidah dan makna nama yang sesungguhnya dijadikan bahan mainan.
Padahal kalau kita jeli, untuk orang yang memberi gelar, dapat saja kita selipkan gelar lain. Pasti ada kelemahannya sehingga dapat dibuat gelar tersendiri.
Dari mana timbul gelar-gelar ini?
Tidak dipungkiri, bahwa geng, pilihan rekan/teman dalam bergaul membawa kita ke arah demikian. Bila kita berteman dengan si pengumpat, sedikit tidak kita akan ikutan mengumpat, ya minimal mendengarkan umpatan.
Pada satu sisi sih oke saja, kita ada teman, ada topik yang jadi pembahasan buat lucu-lucuan. Tapi, sadar gak sih, dunia ini sementara? Dan… Kita belum tentu lebih baik dari orang yang kita beri gelar. Gak usah bawa ayat Quran lah ya, kalian tahu sendiri lah…
Lalu, habis energi dan waktu kita hanya untuk bercerita dan memberi gelar orang lain. Padahal, bila benar, maka akan jadi ghibah, bila salah kan malah jadi fitnah… Tidak ada dari kedua hal tersebut yang bermanfaat satu pun.
Orang-orang yang dengan komunitas ini, bisa jadi memang tidak ada hal lain yang dapat dibahas atau dijadikan topik pembicaraan yang bermanfaat lainnya selain iseng memberi gelar. Praktik ini pun sudah banyak dilakukan sejak dini (sekolah dasar) artinya, ini semacam bakat yang dipelihara sejak kecil. Lalu siapakan yang salah? Orang tua? Guru? Atau lingkungan?
Kalau masih kecil, bisa jadi perhatian orang tua maupun guru kurang, untuk mengingatkan atau mengajarkan anak-anak, bahwa memberi gelar ke orang dengan maksud mengejek tidaklah baik. Namun, bila itu dilakukan oleh orang dewasa, maka ke mana akal pikiran serta pendidikan yang diterima selama ini? Oh ya lupa, bagaimana dengan nilai ajaran agama yang disemai sejak kecil?
Tanpa sadar prilaku ini menjadi dasar anak-anak kita kelak menjadi penindas atau yang ditindas. Nah? Saatnya berubah. Panggilah dengan nama dan gelar yang tepat tanpa maksud mengejek dan menjelekkan orang lain.